DIABETES MELITUS
1.
DEFINISI DIABETES MELITUS
Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai sekelompok
penyakit atau gangguan metabolik yang dikarakterisasi dengan adanya peningkatan glukosa darah (hiperglikemia) akibat resistensi terhadap aksi
insulin, sekresi insulin yang tidak memadai, atau keduanya. DM berkaitan dengan
abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang dapat
menimbulkan komplikasi kronik seperti gangguan mikrovaskular, makrovaskular,
dan neuropati (Triplitt, 2014).
2.
EPIDEMIOLOGI
DIABETES MELITUS
Di Indonesia, DM merupakan ancaman serius bagi pembangunan
kesehatan karena dapat menimbulkan kebutaan, gagal ginjal, kaki diabetes (gangrene) sehingga harus diamputasi,
penyakit jantung dan stroke. DM menduduki peringkat ke-6 sebagai penyebab
kematian di dunia. Sekitar 1,3 juta orang meninggal akibat diabetes dan 4
persen meninggal sebelum usia 70 tahun. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Riskesdas, diperkirakan
pada tahun 2030 akan terdapat penyandang DM (diabetesi) sebanyak 21,3 juta jiwa. Proporsi DM pada usia ≥ 15 tahun adalah sebesar 6,9 % atau sekitar 12 juta jiwa dari total
penduduk 176,7 juta jiwa, meningkat dibandingkan dengan data pada tahun 2007
sebesar 5,7% (Riskesdas, 2013).
3.
KLASIFIKASI DIABETES MELITUS (ADA, 2017)
1.
|
Diabetes Melitus tipe 1
A. Melalui proses
imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
|
2.
|
Diabetes Melitus tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi
insulin bersama resistensi insulin
|
3.
|
Diabetes melitus yang muncul pada masa
kehamilan, umumnya bersifat sementara,
tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2.
|
4.
|
Sindrom
Diabetes Monogenik
Diabetes yang berhubungan dengan kelainan gen pada
kromosom sehingga sel ß mengalami disfungsi.
A. Diabetes Neonatal
Diabetes
pada bayi berusia kurang 6 bulan
B. Maturity Onset Diabetes of the Young
(MODY)
Hiperglikemia muncul pada usia kurang dari 25 tahun
|
5.
|
Cystic
Fibrosis–Related Diabetes
Terjadi pada 40-50
% pada dewasa dengan DM
|
6.
|
Diabetes Melitus Post-transplantion
Hiperglikemia setelah transplantasi organ
|
4.
KLASIFIKASI ETIOLOGI DIABETES MELITUS (Powers, 2015)
1. Diabetes
tipe 1 (destruksi sel beta, biasanya mengarah pada defisiensi insulin absolut)
a. Diperantarai
imunitas
b. Idiopatik
2. Diabetes
tipe 2 (mungkin berkisar antara predominan resisten insulin dengan defisiensi
insulin relatif sampai dengan predominan defek sekresi insulin dengan
resistensi insulin)
3. Tipe
spesifik lain dari diabetes
a. Defek
genetik dari perkembangan atau fungsi sel beta yang dikarakterisasi adanya
mutasi pada:
1. Hepatocyte
nuclear transcription factor (HNF) 4α
(MODY 1)
2. Glukokinase (MODY 2)
3. HNF-1α (MODY 3)
4. Insulin
promoter factor-1 (IPF-1; MODY 4)
5. HNF-1β (MODY 5)
6. NeuroD1 (MODY 6)
7. DNA mitokondrial
8. Subunits dari kanal potasium ATP-sensitif
9. Proinsulin or insulin
10. Regulator atau protein pankreatik lainnya seperti KLF11, PAX4, BLK,GATA4, GATA6,
SLC2A2 (GLUT2), RFX6, GLIS3
b. Defek
genetik pada kerja insulin
1. Resistensi insulin tipe A
2.
Leprechaunism
3.
Rabson-Mendenhall syndrome
4. Sindrom lipodistrofi
c. Penyakit
pada pankreas eksokrin – pankreatitis, pankreotomi, neoplasia, fibrosis sistik,
hemokromatosis, pankreatopati fibrokalkulos, mutasi pada karboksil ester lipase
d. Endokrinopati
– akromegali, Cushing’s syndrome,
glukagonoma, pheokromositoma, hipertiroid, somatostatinoma, aldosteronoma
e. Induksi
dari obat atau senyawa kimia lainnya – glukokortikoid, rodentisida, pentamidin,
asam nikotinat, diazoksid, agonis β-adrenergik, tiazid, kalsineurin, inhibitor
mTOR, hidantoin, asparaginase, α-interferon, inhibitor protease, antipsikosis,
epinefrin
f. Infeksi
– rubella kongenital, sitomegalovirus, coxsackievirus
g. Pembentukan
kompleks imun diabetes yang tidak umum/biasa – sindrom orang-kaku, antibodi
anti reseptor insulin
h. Sindrom
genetik lain yang terkadang dikaitkan dengan diabetes – Wolfram’s syndrome, Down’s syndrome,
Klinefelter’s syndrome, Turner’s
syndrome, Friedreich’s ataxia, Huntington’s chorea, Laurence-MoonBiedl syndrome, Prader-Willi syndrome, distrofi myotonik, porfiria
syndrome, Friedreich’s ataxia, Huntington’s chorea, Laurence-MoonBiedl syndrome, Prader-Willi syndrome, distrofi myotonik, porfiria
4. DM
gestasional
5.
MANIFESTASI KLINISa (Triplitt, 2014)
Karakteristik
|
DM Tipe 1
|
DM Tipe 2
|
Usia
|
<30
tahunb
|
>30
tahunb
|
Mula terjadinya
|
Mendadak
|
Bertahap
|
Bentuk tubuh
|
Cenderung
kurus
|
Obesitas
atau ada riwayat obesitas
|
Resistensi insulin
|
Tidak ada
|
Ada
|
Autoantibodi
|
Biasanya
muncul
|
Jarang
muncul
|
Gejala
|
Simptomatikc
|
Sering
asimptomatik
|
Adanya keton saat diagnosa
|
Ada
|
Tidak
adad
|
Kebutuhan terapi insulin
|
Segera
|
Beberapa tahun
setelah diagnosa
|
Komplikasi akut
|
Ketoasidosis
diabetik
|
Keadaan
hiperglikemia hiperosmolar
|
Komplikasi mikrovaskular saat diagnosa
|
Tidak ada
|
Biasanya ada
|
Komplikasi makrovaskular saat atau sebelum
diagnosa
|
Jarang
|
Biasanya
ada
|
aManifestasi
klinis dapat bervariasi.
bUsia
mula terjadinya DM tipe 1 umumnya <20 tahun tapi dapat muncul pada umur
berapapun. Prevalensi DM tipe 2 pada anak, dewasa dan dewasa muda semakin
meningkat.
cPada DM
tipe 1 biasanya muncul secara akut dengan gejala poliuria, polidipsi, polifagi,
nokturia, penurunan berat badan.
dDM tipe
2 pada anak dan dewasa biasanya muncul dengan adanya keton, namun setelah fase
akut dapat diterapi dengan obat-obatan oral. Perpanjangan masa puasa juga dapat
menyebabkan produksi keton.
6.
PATOFISIOLOGI
DIABETES MELITUS
1. Diabetes
Melitus Tipe 1
Secara
patologis, islet pankreat memiliki sifat infiltrasi sedang terhadap limfosit
(insulitis). Setelah sel beta terdestruksi, proses inflamasi berkurang dan
islet menjadi atrofi. Berikut adalah abnormalitas yang terjadi pada sistem imun
humoral dan seluler DM:
1) Autoantibodi
sel islet
2) Aktivasi
limfosit di islet, nodus limfe peripankreatik dan sirkulasi sistemik
3) Proliferasi
limfosit T yang distimulasi oleh protein islet
4) Rilis
sitokin selama insulitis
Sel beta rentan terhadap efek toksisitas
dari beberapa sitokin (TNF-α, interferon γ, dan interleukin 1 (IL-1). Proses
kematian sel beta pada DM tipe 1 tidak diketahui dengan pasti, namun mungkin
melibatkan pembentukan metabolit NO (nitric
oxide), apoptosis dan peningkatan CD-8+ (sel T sitotoksis). Destruksi islet
diperantarai oleh limfosit T, bukan oleh autoantibodi islet karena antibodi
tersebut secara umum tidak bereaksi dengan permukaan sel islet sehingga usaha
untuk menekan proses autoimun pada saat awal diagnosis DM tidak efektif atau
hanya memberikan efek sementara dalam memperlambat destruksi sel beta. Molekul
islet pankreas yang menjadi target proses autoimun adalah insulin, glutamic acid decarboxylase (GAD), yang
merupakan enzim biosintesis GABA, ICA-512/J2 dan phogrin (insulin secretory granule protein) (Powers, 2015).
2.
Diabetes Melitus tipe 2
DM
tipe 2 dikarakterisasi oleh adanya gangguan sekresi insulin, resistensi
insulin, peningkatan produksi glukosa hepatik yang berlebihan dan metabolisme
lemak yang abnormal. Obesitas, terutama di bagian visceral atau sentral, sangat
sering ditemui pada pasien DM tipe 2 (≥80% pasien DM tipe 2 mengalami
obesitas). Pada awal perjalanan penyakit, toleransi glukosa berkisar pada nilai
normal meskipun terjadi resistensi insulin, karena sel beta pankreas
mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi insulin. Seiring dengan kondisi
resistensi insulin dan kompensasi hiperinsulinemia berjalan, islet pankreas
tidak dapat menjaga kondisi hiperinsulinemia. Akhirnya terjadi gangguan
toleransi glukosa (GTG) yang dikarakterisasi dengan peningkatan glukosa
postprandial. Apabila penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi
glukosa hepatik terus terjadi, akan menyebabkan timbulnya diabetes dan
hiperglikemia saat keadaan puasa. Selanjutnya akan diikuti dengan kegagalan sel
beta. Meskipun resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin berkontribusi
pada patogenesis DM tipe 2, kontribusi relatif tiap faktor bervariasi untuk
tiap individu (Powers, 2015).
3. Diabetes
Melitus Gestasional
Terjadi
intoleransi glukosa pertama kali, yang diketahui saat kehamilan dan hilang
setelah melahirkan. Faktor risiko antara lain obesitas, makrosomia, terjadi
pada riwayat keluarga DM. Pada DM selama kehamilan (early pregnancy) merupakan dampak dari maternal DM pada awal
kehamilan, keadaan dibedakan dua macam sebagai berikut:
Ø Abnormalitas
defek kongenital dan spontan aborsi. Data laboratorium HbA1c dapat sebagai
indikator terkendali atau tidaknya glukosa maternal
Ø DM
selama kehamilan pada trimester-2 dan trimester-3 kenaikan suplemen nutrisi
pada janin menimbulkan dua hal yaitu akselerasi maturasi sel beta pankreas,
menimbulkan fetal hiperinsulinemia dan percepatan pertumbuhan sel yang peka
insulin misalnya jaringan lemak subkutan, berakibat pada bayi yang lahir dalam
keadaan tumbuh abnormal besar (Sjamsiah, 2014)
Diawal
kehamilan, terjadi kenaikan sensitivitas insulin, level glukosa rendah dan
rendahnya jumlah insulin yang dibutuhkan tubuh pada wanita dengan DM tipe 1.
Situasi ini berubah dengan drastis saat kehamilan pada trimester ke -2 dan ke-3
yakni kenaikan resistensi insulin. Pada wanita hamil dengan fungsi pankreas
yang normal, tidak terjadi resistensi insulin dan insulin yang dikeluarkan
digunakan untuk menjaga kadar gula darah (ADA, 2017).
7.
KOMPLIKASI DIABETES MELITUS
a. Komplikasi
Mikrovaskular
Secara morfologi, tanda yang khas pada
komplikasi mikrovaskular diabetes adalah adanya penebalan basement membrane di kapiler dan arteriol pada retina, ginjal dan
saraf. Keadaan ini disebabkan oleh lamanya paparan dengan kadar glukosa yang
tinggi yang melibatkan beberapa mekanisme yaitu adanya perbedaan respon sel,
fenomena memori glikemik, dan kondisi masing-masing individu. Sel- sel yang
rusak karena hiperglikemia menggambarkan kegagalan sel tersebut dalam mengatur
ambilan glukosa ketika kadar glukosa ekstraselular meningkat. Tidak semua sel
memiliki respon yang sama dalam ambilan glukosa karena adanya perbedaan
ekspresi jaringan spesifik dan fungsi GUT yang berbeda (Flyvbjerg, 2017).
Patogenesis komplikasi mikrovaskular
diabetes juga melibatkan jalur metabolik, yaitu Advanced Glycation End-products (AGEs) dan jalur aldose-reductase/polyol.
·
Advanced
Glycation End-products (AGEs)
Amadori terbentuk ketika glukosa dan zat
karbonil reaktif lainnya bereaksi secara non-enzimatik dengan protein, lemak,
atau asam nukleat dan basa Schiff. AGEs
bekerja pada jalur reseptor independen melalui cross-linking protein. AGEs mempengaruhi struktur dan fungsi
molekul intra- dan ekstraselular, meningkatkan stres oksidatif serta memodulasi
aktivasi sel, transduksi sinyal, dan ekspresi sitokin dan faktor pertumbuhan
melalui jalur jalur reseptor-dependent dan independen. Modifikasi matriks
ekstraselular oleh produk amadori menyebabkan peningkatan risiko progresifitas
komplikasi (Flyvbjerg, 2017). Selain itu, progresifitas komplikasi
mikrovaskular dapat disebabkan oleh mekanisme oksidasi dan fragmentasi basa
Schiff yang menghasilkan carboxymethyllysine
(CML), carboxyethyllysine (CEL), dan pentosidine (Monnier, 2008).
·
Jalur aldose-reductase/polyol
Jalur polyol berasal dari enzim
aldoketoreduktase yang dapat menggunakan komponen karbonil turunan glukosa
menjadi substrat dan mereduksinya dengan nicotinamide
adenine dinucleotide phospate (NADPH) menjadi gula alkohol (polyol).
Terdapat beberapa mekanisme bagaimana hiperglikemia menginduksi jalur polyol
sehingga terjadi kerusakan jaringan, yaitu melibatkan sorbitol-induced osmotic stress, penurunan antivitas Na+/K+-ATPase,
meningkatkan NADH/NAD+ sitosolik serta menurunkan NADPH sitosolik
(Monnier, 2008). Akumulasi sorbitol intraselular yang mana tidak dapat
berdifusi dengan mudah melewati membran sel, dapat menghasilkan kerusakan
osmotik. Pada kondisi diabetes terjadi penurunan sintesis phosphatidylinositol
yang menyebabkan terjadi penghambatan aktivitas
Na+/K+-ATPase sehingga meningkatkan aktivitas
jalur polyol (Monnier, 2008).
Komplikasi mikrovaskular yang terjadi
antara lain diabetes retinopati, neuropati, dan nefropati.
Ø Diabetes
retinopati
Diabetes
retinopati merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes yang paling banyak
terjadi. Risiko perkembangan retinopati atau komplikasi mikrovaskular lainnya
tergantung pada durasi dan tingkat keparahan diabetes (Fowler, 2008). Kategori
diabetes retinopati yaitu non-proliferatif dan proliferatif. Non-proliferatif
menggambarkan tahap paling awal terganggunya retina karena diabetes dan
dikarakterisasi dengan mikroaneurism, perdarahan sangat kecil, eksudat, dan edema
retina. Pada tahap ini, kapiler retina mengalami kebocoran protein, lemak, dan
eritrosit dalam retina sehingga macula (area sel-sel visual) mengalami edema
dan terjadi gangguan penglihatan. Mekanisme retinopati proliferatif melibatkan
pertumbuhan kapiler baru dan fibrosis jaringan dalam retina. Hal ini terjadi
sebagai konsekuensi adanya oklusi pembuluh darah yang kecil sehingga retina
hipoksia dan menstimulasi pertumbuhan pembuluh darah baru. Retinopati
proliferatif dapat terjadi pada kedua tipe diabetes tapi lebih banyak terjadi
pada tipe 1, perkembangannya sekitar 7-10 tahun setelah gejala mulai timbul (Masharani,
2016).
Screening
|
Pengukuran
|
Ocular fundus
Fluorescein Angiography
OCT scanning records
|
Ada/tidaknya lesi pada semua bagian retina
Distribusi fluorescein pada retina. Dapat mendeteksi (1) adanya kebocoran
fluorescein pada pembuluh darah retina sebagai indikasi adanya barrier
darah-retina, (2) adanya penyumbatan kapiler
Jarak refleksi cahaya pada lapisan retina yang berbeda. Dapat mendeteksi
lesi pada retina yang tidak terlihat dengan pemeriksaan biasa dan
memperkirakan pembengkakan retina
|
Ø Diabetes Nefropati
Diabetes
nefropati adalah kondisi kronik yang perkembangannya terjadi beberapa tahun,
ditandai dengan peningkatan ekskresi albumin di urin, tekanan darah, risiko
kardiovaskular, menurunnya laju filtrasi glomerulus, bahkan gagal ginjal kronik
(Marshall & Flyvbjerg, 2017). Individu dengan nefropati akan meningkatkan
risiko terjadinya komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular lainnya.
Sepertiga penderita diabetes akan mengalami peningkatan ke albuminuria grade A3
( Albumin Excretion Rate/ AER >300 mg/24 jam) dan gagal ginjal stadium akhir
(Marshall & Flyvbjerg, 2017). Diet rendah protein (0,8g/kg/hari) diharapkan
dapat menurunkan hiperfiltrasi dan mikroalbuminuria (Masharani, 2016).
Screening
|
Pengukuran
|
Hasil
|
Albuminuria
|
Albumin Excretion Rate (AER)
GFR
|
30-300 mg/24 jam (Grade A2)
> 300 mg/24 jam (Grade A3)
≤ 45 – 59 mL/menit/1,73m2
|
Ø Diabetes Neuropati
Diabetes
neuropati merupakan komplikasi diabetes yang terjadi pada hampir 50% pasien
diabetes tipe 2. Terdapat 2 kategori diabetes neuropati yaitu neuropati perifer dan otonom.
Neuropati perifer dapat berupa distal
symmetric polyneuropathy dan isolated
peripheral neuropathy. Distal symmetric polyneuropathy merupakan
bentuk neuropati perifer
yang paling umum dimana terjadi hilangnya fungsi pada bagian distal oleh karena
proses neuropatik aksonal. Konduksi saraf sensorik dan motorik akan tertunda di
saraf perifer. Sensor yang terganggu pertama kali adalah rangsang terhadap
getaran, nyeri, dan suhu dengan pola bilateral dan simetris. Defisiensi
sensorik tersebut akan menyebabkan pasien tidak merasakan nyeri sehingga sering
terjadi cedera atau luka tanpa dirasakan oleh pasien. Isolated peripheral
neuropathy melibatkan neuropati hanya pada satu saraf atau beberapa saraf
yang terjadi secara tiba-tiba, dapat disebabkan karena iskemia vaskular atau
trauma (Masharani, 2016).
Neuropati
otonom terjadi pada pasien diabetes yang lama, mempengaruhi berbagai fungsi
viseral termasuk tekanan darah dan nadi, termoregulator, aktivitas
gastrointestinal, fungsi kandung kemih, disfungsi ereksi. Manifestasi gangguan
aktivitas gastrointestinal antara lain mual, muntah, konstipasi atau diare
(bahkan keduanya), fecal incontinensia. Manifestasi klinis yang banyak
menyebabkan upaya untuk memperbaiki fungsi organ juga harus spesifik, terutama
dengan tetap mengacu pada kontrol kadar glukosa darah (Masharani, 2016).
b.
Komplikasi
Makrovaskular
Komplikasi makrovaskular dari diabetes
berikut dijabarkan sebagai berikut:
Ø Dislipidemia
Dislipidemia pada diabetes
ditandai dengan meningkatnya kadar trigliserida dan menurunnya kadar HDL
kolesterol. Kadar LDL kolesterol pada individu diabetes
lebih didominasi oleh
bentuk yang lebih kecil dan padat (small dense LDL), yang secara intrinsik
lebih bersifat aterogenik dari pada partikel-partikel LDL yang lebih besar.
Kerusakan kerja
insulin dan keadaan hiperglikemia akan menyebabkan perubahan lipoprotein plasma
pada pasien dengan diabetes. Pada diabetes tipe 2, obesitas atau kekacauan
metabolisme yang resisten terhadap insulin dapat menjadi penyebab dislipidemia,
selain hiperglikemia itu sendiri. Penyebab utama dislipidemia diabetes adalah
meningkatnya pelepasan asam lemak bebas dari sel-sel lemak yang resisten
terhadap insulin. Peningkatan fluks asam lemak bebas ke dalam hati dalam
kondisi adanya persediaan glukagon yang mencukupi mendukung produksi
trigliserida, yang akan menstimulasi sekresi Apo B dan VLDL. Melemahnya
kemampuan insulin untuk menghambat pelepasan asam lemak bebas mengakibatkan
bertambahnya produksi VLDL hepatik yang berkaitan dengan derajat akumulasi
lemak hepatik. Hiperinsulinemia, peningkatan VLDL dan kadar
trigliserida plasma juga mempengaruhi rendahnya kadar HDL.
Ø Reologi
Faktor
yang mempengaruhi reologi antara lain peningkatan kadar Lp(a) yang berpotensi
menunda trombolisis dan berkontribusi pada progresi plak. Jumlah faktor VII
ditingkatkan bersamaan dengan komplek thrombin-antitrombin sementara
antitrombin III, protein C dan S diturunkan. Rendahnya jumlah faktor ini
menyebabkan gangguan pada pnghambatan pembentukan gumpalan dan fibrinolysis.
Selain protein sirkulasi dan produk terglikasi, abnormalitas platelet juga
terdapat pada DM tipe 1 dan 2. Perubahan meliputi penekanan agregasi platelet dan
adhesi. Peningkatan glikasi dari membrane platelet protein yang menyebabkan
adhesi dan agregat, sehingga dyslipidemia dengan diabetes secara langsung dan
tidak langsung meningkatkan agregasi platelet (Cas, 2001).
Ø Homosistein
Peningkatan
kadar homosistein (He) dalam plasma merupakan penentu independent dalam penyakit makrovaskular.
Hal ini penting karena homosistein
merupakan titik cabang (metabolit perantara) dalam konversi metionin menjadi
sistein. Klirens dari efisiensi metabolik pada individu tergantung pada
ketersediaan vitamin B6, B12, dan asam folat. Defisiensi nutrisi dari vitamin
ini diketahui dapat menyebabkan peningkatan kadar He sehingga sistein rendah.
Kadar diatas 16,2 mM/L berkorelasi dengan penyakit makrovaskular. Pada komplikasi
vaskular, peningkatan jumlah He karena koagulabilitas ditekan, disfungsi
endotel, dan thrombosis. Studi pada penderita diabetes menunjukkan kenaikan
prevalensi kardiovaskular dan pembuluh darah perifer dengan peningkatan He
terlepas dari jenis DM. kadar He pada orang normal adalah 9mM/L.
Ø Kerusakan Endotel
Kerusakan
struktur dan fungsi endotel vascular biasanya terkait dengan DM. Abnormalitas
ini mempercepat timbulnya aterosklerosis, dengan mekanisme yang berkontribusi
adalah hiperglikemia dan dyslipidemia. Hal ini bisa terjadi karena penurunan
produksi nitrit oksida yang tidak hanya mengurangi efek vasodilator tapi
predisposisi peningkatan prostaglandin, molekul adhesi endotel protein glikasi,
trombosit dan faktor pertumbuhan yang meningkatkan tonus vasomotor,
permeablilitas vascular, pertumbuhan dan remodeling sistem sel vascular.
Rusaknya endotel kapiler vascular mempengaruhi sintesis protein, perubahan
ekspresi dan adhesi glikoprotein pada sel endotel. Peningkatan matriks sel
endotel akan menyebabkan membrane basal, yang menyebabkan peningkatan ekspresi
enzim yang berpartisipasi dalam sintesis kolagen dengan peningkatan kolagen
tipe IV dan fibropectin yang berkontribusi menyebabkan aterosklerosis. Perbaikan
sel endotel yang lambat akan menyebabkan kematian sel. Semua perubahan yang
membuat sel endotel menjadi lebih rentan akan mempercepat terjadi proses
aterosklerosis dan penyakit macrovaskular (Cas, S., 2001).
8.
SKRINING
DAN PENEGAKAN DIAGNOSA DIABETES MELITUS
Penegakan diagnosa
diabetes mellitus dapat ditegakkan secara akut atau melalui skrining. Skrining
harus dilakukan pada individu dengan salah satu kriteria berikut :
·
Individu yang memiliki
riwayat keluarga diabetes mellitus tipe 1 (skrining status islet autoantibody)
·
Individu dengan BMI ≥
25 kg/m2 yang memiliki minimal satu faktor resiko (skrining meliputi
GDP, HBA1c, dan TTGO)
·
Individu dewasa usia ≥
45 tahun meskipun tanpa faktor resiko (skrining meliputi GDP, HBA1c,
dan TTGO)
·
Anak-anak dan dewasa dengan berat badan >
85th percentile atau berat > 120% dari berat badan ideal, dengan
minimal dua faktor resiko (riwayat keluarga, terdapat tanda resistensi insuin,
lahir dari ibu dengan DM gestasional). Skrining harus dilakukan setiap 3 tahun
dimulai sejak usia 10 tahun atau saat masa pubertas.
·
Saat kehamilan,
terutama pada wanita dengan riwayat keluarga diabetes mellitus, riwayat
diabetes gestasional, obesitas, atau wanita yang didiagnosa polycystic ovary syndrome
(Triplitt, 2014).
Seseorang didiganosa
menderita diabetes mellitus apabila memenuhi sekurang-kurangnya satu dari
kriteria diagnostik berikut:
·
HbA1c ≥ 6,5. Tes
tersebut harus dilakukan di laboratorium yang menggunakan metode yang
disertifikasi oleh NGSP (National Glycohemoglobin Standardization Program) dan
distandasisasi oleh DCCT.
·
Glukosa darah puasa
(GDP) ≥ 126 mg/dL. Puasa didefinisikan sbagai tidak adanya asupan kalori
minimal 8 jam.
·
Glukosa darah 2 jam ≥
200 mg/dL selama Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO), dengan asupan glukosa yang
direkomendasikan adalah 75 gram dilarutkan ke dalam air.
·
Pada pasien dengan
tanda hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, gula darah acak ≥ 200 mg/dL
(Triplitt
& Reasner, 2011).
9. DATA LAB BERKAITAN DENGAN DIABETES MELLITUS
·
Glukosa Darah Puasa (GDP)
a.
Rentang normal
-
Anak-anak : < 2 tahun à 60 - 100 mg/dL (3,3 – 5,5 mmol/L)
> 2 tahun à 70 – 110 mg/dL ( < 6,1 mmol/L)
-
Dewasa : 74 – 106 mg/dL (4,1 – 5,9 mmol/L)
-
Lansia : 60 – 90 tahun à 82 – 115 mg/dL (4,6 – 6,4 mmol/L)
> 90 tahun à 75 – 121 mg/dL (4,2 – 6,7 mmol/L)
b. Angka kritis
- Pria dewasa
: < 50 dan > 400 mg/dL
- Wanita
dewasa : < 40 dan > 500 mg/dL
d. Indikasi
Pemerikasaan
gula darah puasa merupakan pemeriksaan langsung kadar gula (glukosa) dalam
darah. Sample yang digunakan adalah darah tepi. Umumnya pemerikasaan ini
digunakan untuk evaluasi kondisi pasien diabetes (Pagana & Pagana, 2014) .
e. Penjelasan
Melalui
mekanisme umpan balik, kadar glukosa darah dikendalikan oleh insulin dan
glukagon (Widmaier, et al., 2016) . Pada kondisi puasa,
yaitu tanpa adanya intake kalori
setidaknya selama 8 jam, terjadi penurunan kadar glukosa darah. Tubuh merespon
hal tersebut dengan mensekresi glukagon, yang diproduksi di sel alfa pada islet Langerhans pankreas (Barrett, et al.,
2016) .
Glukagon memicu pemecahan glikogen pada liver menjadi glukosa..Dampaknya,
terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Jika masih belum cukup maka yang
selanjutnya mengalami pemecahan adalah protein dan asam lemak (Barrett, et al.,
2016) .
Setelah
makan, kadar glukosa darah mengalami peningkatan. Tubuh merespon dengan
mensekresi insulin yang diproduksi sel beta pada islet Langerhans pankreas. Insulin memicu uptake glukosa kedalam
sel, setelah berikatan dengan reseptor insulin di permukaan sel otot, liver dan
adipose (Widmaier, et al., 2016) . Glukosa yang kini
berada didalam sel kemudian dimetabolisme menjadi glikogen, asam amino, dan
asam lemak. Beberapa hormon lain seperti adrenokortikosteroid,
adrenokortikotropik (ACTH), epinefrin, growth
hormone, dan tiroksin dapat mempengaruhi metabolisme glukosa (Fischbach & Dunning, 2015) .
Secara
umum, peningkatan kadar glukosa darah dapat mengindikasikan terjadinya
diabetes. Namun harus waspada dengan faktor penggangu seperti kedadan stress
(asetesi umum, CVA, infark miokard, luka bakar), intoleransi glukosa pada masa
kehamilan (jika signifikan disebut diabetes gestasional) dan penggunaan
obat-obatan tertentu dari golongan TCA, antispikotik, kortikosteroid, diuretik,
epinefrin, estrogen dan niasin (Pagana & Pagana, 2014) .
·
Glukosa Darah Postprandial
a.
Rentang normal
Pada 2 jam
setelah makan (GD2PP)
-
0 – 50 tahun : < 140 mg/dL (< 7,8 mmol/L)
-
50 – 60 tahun : < 150 mg/dL
-
> 60 tahun : < 160 mg/dL
-
Pada 1 jam
setelah makan : < 140 mg/dL
(untuk screening diabetes gestasional)
b.
Indikasi
Pemeriksaan GD2PP adalah pemeriksaan kadar glukosa
dalam darah 2 jam setelah makan. Umumnya digunakan untuk penegakan diagnosis DM
(Pagana & Pagana, 2014) .
c.
Penjelasan
Insulin normalnya disekresikan segera setelah makan
sebagai respon peningkatan kadar glukosa darah. Adanya insulin ini, menyebabkan
kadar glukosa darah menjadi normal seperti sebelum makan dalam waktu 2 jam.
Pada pasien dengan diabetes, kadar glukosa darah umumnya masih tinggi.
Pemerikasaan ini mudah dilakukan untuk melakukan uji tapi penderita DM (Pagana & Pagana, 2014) . Jika hasilnya lebih
dari 140 mg/dL dan kurang dari 200 mg/dL maka uji toleransi glukosa sebaiknya
dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Jika kadar glukosa darah lebih dari 200
mg/dL maka diagnosis DM dapat ditegakkan. Pemerikasaan hemoglobin
terglikosilasi dapat juga dilakukan untuk mengkonfirmasi temuan pada uji
glukosa darah (Fischbach & Dunning, 2015) .
Uji tapis glukosa darah 1 jam setelah makan digunakan
untuk mendeteksi diabetes gestasional (GDM), yang merupakan komplikasi yang
umum terjadi selama kehamilan. Uji tapis ini dilakukan dengan loading 50 – 100
gram glukosa secara oral kemudian diperiksa kadar dalam darah 1 jam kemudian.
Uji tapis umumnya dilakukan pada 24 – 28 minggu kehamilan. Namun, jika pasien
memiliki faktor resiko mengalami GDM, uji tapi yang lebih awal mungkin dapat
dilakukan (Pagana & Pagana, 2014) .
·
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
a.
Nilai Normal
-
Puasa : < 110 mg/dL
-
30 menit : < 200 mg/dL
-
1 jam : < 200 mg/dL
-
2 jam : < 140 mg/dL
-
3 jam : 70 – 115 mg/dL
-
4 jam : 70 – 115 mg/dL
b.
Indikasi
Uji TTGO digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis DM (Pagana & Pagana, 2014) .
c.
Penjelasan
TTGO dapat digunakan untuk pasien yang memiliki
riwayat keluarga diabetes, obesitas, riwayat infeksi berulang, penyembuhan luka
yang lama (terutamanya ekstrimitas bawah), wanita dengan riwayat kelahiran
premature atay bayi BB besar atau pasien dengan riwayat glikosuria,
hiperglikemia selama kehamilan dan pernah pengalami infark miokard (Pagana & Pagana, 2014) .
Pada keadaan normal, tubuh segara merpon intake
glukosa dengan mensekresi insulin. Respon ini puncaknya pada menit ke 30 hingga
60 dan kembali normal setelah sekitar 3 jam. Pasien yang respon insulinnya
masih normal, masih dapat mentoleransi hal ini, dengan sedikit kenaikan kadar glukosa darah 1 hingga 2 jam setelah
loading glukosa. Sedangkan, pada pasien dengan diabetes kemampuan tersebut
banyak berkurang dan menyebabkan gula darah tetap tinggi hingga 5 jam setelah
loading glukosa dan seringkali disertai glukosuria (Pagana & Pagana, 2014) .
·
Hemoglobin Terglikosilasi (HbA1c)
a.
Nilai Normal
-
Dewasa / anak
tidak diabetes : 4% - 5,9%
-
Diabetes yang
terkendali dengan baik : < 7%
-
Diabetes yang
kurang terkendali : 8% - 9%
-
Diabetes yang
tekendali buruk : > 9%
b.
Indikasi
Pemerikasaan HbA1c digunakan untuk menegakkan
diagnosis DM, selain itu juga untuk mengetahui kemampuan kendali glukosa darah
pasien dalam pengobatan. Pemeriksaan ini memberikan gambaran rerata jangka
panjang kadar glukosa darah pasien secara akurat (Pagana & Pagana, 2014) .
c.
Penjelasan
Pada orang dewasa, sekitar 98% dari hemoglobin dalam
sel darah merah (RBCs) adalah hemoglobin A. Dari jumlah tersebut, sekitar 7%
nya adalah tipe HbA1 yang dapat berikatan kuat dengan glukosa melalui proses
kimia yang disebut glikosilasi. Ikatan tersebut cenderung irreversible (Barrett, et al.,
2016) .
HbA1 sebenarnya memiliki subtype A1a, A1b dan A1c.
Komponen A1c lah yang paling kuat berikatan dengan glukosa. Sehingga,
pengukuran HbA1c adalah pengukuran yang paling akurat untuk mengetahui kadar
hemoglobin yang terglikosilasi (Pagana & Pagana, 2014) .
Selama RBCs bersirkulasi, HbA1 berikatan dengan
glukosa dalam darah membentuk glikohemoglobin (GHb). Jumlah GHb bergantung dari
jumlah glukosa yang ada dalam sirkulasi darah selama usia RBC yang sekitar 120
hari. Oleh karena itu, pengukuran GHb mencerminkan rerata kadar glukosa darah
selama 100 hingga 120 hari sebelum diperiksa. Semakin banyak RBC terpapar
glukosa, semakian tinggi prosentase GHb. Keuntungan dari pemeriksaan HbA1c
adalah bahwa sampel bisa diambil kapanpun, karena tidak terpengaruh oleh
variasi jangka pendek (misalnya intake makanan, aktivitas, stress, obat) (Fischbach & Dunning, 2015) .
Glukosa juga dapat berikatan secara nonenzimatis
dengan protein membentuk protein terglikosilasi. Bentuk ini relatif stabil
hingga protein tersebut didegradasi tubuh. Salah satu bentuk protein yang bisa
juga diukur untuk mengetahui kemampuan kendali glukosa darah pasien adalah
albumin terglikosilasi. Hasil tersebut mencerminkan kendali glukosa darah
pasien selama sekitar 15 – 20 hari kebelakang, sesuai dengan usia albumin yang
sekitar 20 hari (Fischbach & Dunning, 2015) .
Dengan perhitungan yang sederhana, GHb dapat secara
akurat menunjukkan rata-rata kadar glukosa darah. Hal ini penting bagi
diabetisi dan tenaga kesehatan yang menanganinya untuk mengevaluasi capaian
kendali glukosa. Perhitungannya sebagai berikut:
MPG (mean plasma
glucose) = (35,6 x GHb) – 77,3
Setiap kenaikan 1% GHb
mencerminkan perubahan sekitar 35 mg/dL MOG atau 2 mmol/L (Pagana & Pagana, 2014) .
Hasil GHb
menjadi kurang akurat jika pasien mengalami kondisi yang mempegaruhi produksi
atau perombakan dari hemoglobin seperti anemia hemolitik atau transfusi darah (Pagana & Pagana, 2014) .
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes
Association. 2017. Standards of Medical Care in Diabetes-2017. Diabetes Care
2017 ; 40 (Suppl. 1) : S1–S2 | DOI : 10.2337/dc17-S001
Barrett, K. E., Barman, S. M., Boitano, S. & Brooks, H. L., 2016. Ganong's Review of Medical Physiology.
25th ed. New York: McGraw Hill Education.
Bek, T. 2017. Diabetes Retinopathy. Textbook of Diabetes. Fifth edition. Editor
: Holt, R, Cockram, C, Flyvbjerg, A, Goldstein, B. John Wiley & Sons. pp :
556
Cas,
S. 2001. Current Understanding of Risk Factors and Mechanisme in the
Pathogenesis of Macrovascular Disease on Diabetes Mellitus. Journal Indian Academy of Clinincal Medicine (2): 3.
Diabetes Control and Complications
Trial/Epidemiology of Diabetes Interventions and Complications Research Group,
2000. Dalam Flyvbjerg, A. 2017. Microvascular complication in diabetes. Textbook of Diabetes. Fifth edition.
Editor : Holt, R, Cockram, C, Flyvbjerg, A, Goldstein, B. John Wiley &
Sons. p: 546
Fischbach, F. T. & Dunning, M. B., 2015. A Manual of Laboratory and Disgnostic Test. 9th
ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health.
Flyvbjerg, A. 2017. Microvascular
complication in diabetes. Textbook of
Diabetes. Fifth edition. Editor : Holt, R, Cockram, C, Flyvbjerg, A,
Goldstein, B. John Wiley & Sons. pp : 544-546
Folli,
F. et. al., 2011. The Role of Oxidative
Stress in the Pathogenesis of Type 2 Diabetes Mellitus Micro- and Macrovascular
Complications: Avenues for a Mechanistic-Based Therapeutic Approach. Current Diabetes Reviews (7) : 313-324.
Forbes, M, J dan M. E. Cooper. 2013. Mechanism of
Diabetic Complications. American
Physiological Society (93) : 137-188.
Fowler, M.J. 2008. Microvascular and
macrovascular complication of diabetes. Clinical
Diabetes. 26 : 77-82
Marshall, S.M, Flyvbjerg, A. 2017.
Diabetic nephropathy. Textbook of Diabetes.
Fifth edition. Editor : Holt, R, Cockram, C, Flyvbjerg, A, Goldstein, B. John
Wiley & Sons. pp : 566-570
Masharani, U. 2016. Diabetes Mellitus
& Hypoglycemia. Dalam: Current Medical Diagnosis & Treatment.
Fifty-fifth edition. Editor : Papadakis, M.A, McPhee, S.J, Rabow, M.W. Mc Graw
Hill Education. pp : 1218
Pagana, K. D. & Pagana, T. J., 2014. Mosby's Manual of Diagnostic and Laboratory Test. 5th
ed. St.Louis: Elsevier Mosby.
PERDIK. 2013. Pedoman
Tatalaksana Dislipdemia. Centra Communications : Indonesia.
Powers, Alvin C. 2015. Diabetes mellitus: Diagnosis, Classification,
and Pathophysiology. In:
Kasper, Dennis L., et al. 2015. Harrison’s
Principles of Internal Medicine 19th edition. New
York: McGraw-Hill Education, pp. 2399.
Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar Diabetes
Melitus. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2013,
Diakses : 31 Januari 2017.
Sjamsiah, S.S.,
Sutjahjo, A. 2014. Farmakoterapi Asuhan Kefarmasian Obat pada Diabetes Mellitus.
Airlangga University Press, hal 18.
Triplitt,
Curtis L., Repas, Thomas., Alvarez, Carlos A. 2014. Diabetes Mellitus. In: Dipiro, T.J., Talbert, R.L., Yee,
G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 9th edition. New York: McGraw-Hill
Education, Inc,
Widmaier, E. P., Raff, H. & Strang, K. T., 2016. Vander's Human Physiology - The Mechanisms of Body Function.
10th ed. New York: McGraw Hill Education.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar