Kamis, 09 Februari 2017

DIABETES MELLITUS ^,^

DIABETES MELITUS

1.    DEFINISI DIABETES MELITUS
Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai sekelompok penyakit atau gangguan metabolik yang dikarakterisasi dengan adanya peningkatan glukosa darah (hiperglikemia) akibat resistensi terhadap aksi insulin, sekresi insulin yang tidak memadai, atau keduanya. DM berkaitan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang dapat menimbulkan komplikasi kronik seperti gangguan mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati (Triplitt, 2014).
2.    EPIDEMIOLOGI DIABETES MELITUS
Di Indonesia, DM merupakan ancaman serius bagi pembangunan kesehatan karena dapat menimbulkan kebutaan, gagal ginjal, kaki diabetes (gangrene) sehingga harus diamputasi, penyakit jantung dan stroke. DM menduduki peringkat ke-6 sebagai penyebab kematian di dunia. Sekitar 1,3 juta orang meninggal akibat diabetes dan 4 persen meninggal sebelum usia 70 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Riskesdas, diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat penyandang DM (diabetesi) sebanyak 21,3 juta jiwa. Proporsi DM pada usia 15 tahun adalah sebesar 6,9 % atau sekitar 12 juta jiwa dari total penduduk 176,7 juta jiwa, meningkat dibandingkan dengan data pada tahun 2007 sebesar 5,7% (Riskesdas, 2013).
3.    KLASIFIKASI DIABETES MELITUS (ADA, 2017)
1.
Diabetes Melitus tipe 1
Destruksi sel ß umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut
A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
2.
Diabetes Melitus tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama  resistensi insulin
3.
Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes melitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat  sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2.

4.
Sindrom Diabetes Monogenik
Diabetes yang berhubungan dengan kelainan gen pada kromosom sehingga sel ß mengalami disfungsi.
A. Diabetes Neonatal
   Diabetes pada bayi berusia kurang 6 bulan
B. Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)
   Hiperglikemia muncul pada usia kurang dari 25 tahun
5.
Cystic Fibrosis–Related Diabetes
Terjadi pada 40-50 % pada dewasa dengan DM
6.
Diabetes Melitus Post-transplantion
Hiperglikemia setelah transplantasi organ

4.    KLASIFIKASI ETIOLOGI DIABETES MELITUS (Powers, 2015)
1.      Diabetes tipe 1 (destruksi sel beta, biasanya mengarah pada defisiensi insulin absolut)
a.       Diperantarai imunitas
b.      Idiopatik
2.      Diabetes tipe 2 (mungkin berkisar antara predominan resisten insulin dengan defisiensi insulin relatif sampai dengan predominan defek sekresi insulin dengan resistensi insulin)
3.      Tipe spesifik lain dari diabetes
a.       Defek genetik dari perkembangan atau fungsi sel beta yang dikarakterisasi adanya mutasi pada:
1.      Hepatocyte nuclear transcription factor (HNF) 4α (MODY 1)
2.      Glukokinase (MODY 2)
3.      HNF-1α (MODY 3)
4.      Insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY 4)
5.      HNF-1β (MODY 5)
6.      NeuroD1 (MODY 6)
7.      DNA mitokondrial
8.      Subunits dari kanal potasium ATP-sensitif
9.      Proinsulin or insulin
10.  Regulator atau protein pankreatik lainnya  seperti KLF11, PAX4, BLK,GATA4, GATA6, SLC2A2 (GLUT2), RFX6, GLIS3
b.      Defek genetik pada kerja insulin
1.      Resistensi insulin tipe A
2.      Leprechaunism
3.      Rabson-Mendenhall syndrome
4.      Sindrom lipodistrofi
c.       Penyakit pada pankreas eksokrin – pankreatitis, pankreotomi, neoplasia, fibrosis sistik, hemokromatosis, pankreatopati fibrokalkulos, mutasi pada karboksil ester lipase
d.      Endokrinopati – akromegali, Cushing’s syndrome, glukagonoma, pheokromositoma, hipertiroid, somatostatinoma, aldosteronoma
e.       Induksi dari obat atau senyawa kimia lainnya – glukokortikoid, rodentisida, pentamidin, asam nikotinat, diazoksid, agonis β-adrenergik, tiazid, kalsineurin, inhibitor mTOR, hidantoin, asparaginase, α-interferon, inhibitor protease, antipsikosis, epinefrin
f.       Infeksi – rubella kongenital, sitomegalovirus, coxsackievirus
g.      Pembentukan kompleks imun diabetes yang tidak umum/biasa – sindrom orang-kaku, antibodi anti reseptor insulin
h.      Sindrom genetik lain yang terkadang dikaitkan dengan diabetes – Wolfram’s syndrome, Down’s syndrome, Klinefelter’s syndrome, Turner’s
syndrome, Friedreich’s ataxia, Huntington’s chorea, Laurence-MoonBiedl syndrome, Prader-Willi syndrome
, distrofi myotonik, porfiria
4.      DM gestasional



5.    MANIFESTASI KLINISa (Triplitt, 2014)
Karakteristik
DM Tipe 1
DM Tipe 2
Usia
<30 tahunb
>30 tahunb
Mula terjadinya
Mendadak
Bertahap
Bentuk tubuh
Cenderung kurus
Obesitas atau ada riwayat obesitas
Resistensi insulin
Tidak ada
Ada
Autoantibodi
Biasanya muncul
Jarang muncul
Gejala
Simptomatikc
Sering asimptomatik
Adanya keton saat diagnosa
Ada
Tidak adad
Kebutuhan terapi insulin
Segera
Beberapa tahun setelah diagnosa
Komplikasi akut
Ketoasidosis diabetik
Keadaan hiperglikemia hiperosmolar
Komplikasi mikrovaskular saat diagnosa
Tidak ada
Biasanya ada
Komplikasi makrovaskular saat atau sebelum diagnosa
Jarang
Biasanya ada
aManifestasi klinis dapat bervariasi.
bUsia mula terjadinya DM tipe 1 umumnya <20 tahun tapi dapat muncul pada umur berapapun. Prevalensi DM tipe 2 pada anak, dewasa dan dewasa muda semakin meningkat.
cPada DM tipe 1 biasanya muncul secara akut dengan gejala poliuria, polidipsi, polifagi, nokturia, penurunan berat badan.
dDM tipe 2 pada anak dan dewasa biasanya muncul dengan adanya keton, namun setelah fase akut dapat diterapi dengan obat-obatan oral. Perpanjangan masa puasa juga dapat menyebabkan produksi keton.

6.    PATOFISIOLOGI DIABETES MELITUS
1.      Diabetes Melitus Tipe 1
Secara patologis, islet pankreat memiliki sifat infiltrasi sedang terhadap limfosit (insulitis). Setelah sel beta terdestruksi, proses inflamasi berkurang dan islet menjadi atrofi. Berikut adalah abnormalitas yang terjadi pada sistem imun humoral dan seluler DM:
1)      Autoantibodi sel islet
2)      Aktivasi limfosit di islet, nodus limfe peripankreatik dan sirkulasi sistemik
3)      Proliferasi limfosit T yang distimulasi oleh protein islet
4)      Rilis sitokin selama insulitis
Sel beta rentan terhadap efek toksisitas dari beberapa sitokin (TNF-α, interferon γ, dan interleukin 1 (IL-1). Proses kematian sel beta pada DM tipe 1 tidak diketahui dengan pasti, namun mungkin melibatkan pembentukan metabolit NO (nitric oxide), apoptosis dan peningkatan CD-8+ (sel T sitotoksis). Destruksi islet diperantarai oleh limfosit T, bukan oleh autoantibodi islet karena antibodi tersebut secara umum tidak bereaksi dengan permukaan sel islet sehingga usaha untuk menekan proses autoimun pada saat awal diagnosis DM tidak efektif atau hanya memberikan efek sementara dalam memperlambat destruksi sel beta. Molekul islet pankreas yang menjadi target proses autoimun adalah insulin, glutamic acid decarboxylase (GAD), yang merupakan enzim biosintesis GABA, ICA-512/J2 dan phogrin (insulin secretory granule protein) (Powers, 2015).
2.      Diabetes Melitus tipe 2
DM tipe 2 dikarakterisasi oleh adanya gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, peningkatan produksi glukosa hepatik yang berlebihan dan metabolisme lemak yang abnormal. Obesitas, terutama di bagian visceral atau sentral, sangat sering ditemui pada pasien DM tipe 2 (≥80% pasien DM tipe 2 mengalami obesitas). Pada awal perjalanan penyakit, toleransi glukosa berkisar pada nilai normal meskipun terjadi resistensi insulin, karena sel beta pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi insulin. Seiring dengan kondisi resistensi insulin dan kompensasi hiperinsulinemia berjalan, islet pankreas tidak dapat menjaga kondisi hiperinsulinemia. Akhirnya terjadi gangguan toleransi glukosa (GTG) yang dikarakterisasi dengan peningkatan glukosa postprandial. Apabila penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hepatik terus terjadi, akan menyebabkan timbulnya diabetes dan hiperglikemia saat keadaan puasa. Selanjutnya akan diikuti dengan kegagalan sel beta. Meskipun resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin berkontribusi pada patogenesis DM tipe 2, kontribusi relatif tiap faktor bervariasi untuk tiap individu (Powers, 2015).
3.      Diabetes Melitus Gestasional
Terjadi intoleransi glukosa pertama kali, yang diketahui saat kehamilan dan hilang setelah melahirkan. Faktor risiko antara lain obesitas, makrosomia, terjadi pada riwayat keluarga DM. Pada DM selama kehamilan (early pregnancy) merupakan dampak dari maternal DM pada awal kehamilan, keadaan dibedakan dua macam sebagai berikut:
Ø  Abnormalitas defek kongenital dan spontan aborsi. Data laboratorium HbA1c dapat sebagai indikator terkendali atau tidaknya glukosa maternal
Ø  DM selama kehamilan pada trimester-2 dan trimester-3 kenaikan suplemen nutrisi pada janin menimbulkan dua hal yaitu akselerasi maturasi sel beta pankreas, menimbulkan fetal hiperinsulinemia dan percepatan pertumbuhan sel yang peka insulin misalnya jaringan lemak subkutan, berakibat pada bayi yang lahir dalam keadaan tumbuh abnormal besar (Sjamsiah, 2014)
Diawal kehamilan, terjadi kenaikan sensitivitas insulin, level glukosa rendah dan rendahnya jumlah insulin yang dibutuhkan tubuh pada wanita dengan DM tipe 1. Situasi ini berubah dengan drastis saat kehamilan pada trimester ke -2 dan ke-3 yakni kenaikan resistensi insulin. Pada wanita hamil dengan fungsi pankreas yang normal, tidak terjadi resistensi insulin dan insulin yang dikeluarkan digunakan untuk menjaga kadar gula darah (ADA, 2017).
7.    KOMPLIKASI DIABETES MELITUS
a.      Komplikasi Mikrovaskular
Secara morfologi, tanda yang khas pada komplikasi mikrovaskular diabetes adalah adanya penebalan basement membrane di kapiler dan arteriol pada retina, ginjal dan saraf. Keadaan ini disebabkan oleh lamanya paparan dengan kadar glukosa yang tinggi yang melibatkan beberapa mekanisme yaitu adanya perbedaan respon sel, fenomena memori glikemik, dan kondisi masing-masing individu. Sel- sel yang rusak karena hiperglikemia menggambarkan kegagalan sel tersebut dalam mengatur ambilan glukosa ketika kadar glukosa ekstraselular meningkat. Tidak semua sel memiliki respon yang sama dalam ambilan glukosa karena adanya perbedaan ekspresi jaringan spesifik dan fungsi GUT yang berbeda (Flyvbjerg, 2017).
Patogenesis komplikasi mikrovaskular diabetes juga melibatkan jalur metabolik, yaitu Advanced Glycation End-products (AGEs) dan jalur aldose-reductase/polyol.
·         Advanced Glycation End-products (AGEs)
Amadori terbentuk ketika glukosa dan zat karbonil reaktif lainnya bereaksi secara non-enzimatik dengan protein, lemak, atau asam nukleat dan basa Schiff.  AGEs bekerja pada jalur reseptor independen melalui cross-linking protein. AGEs mempengaruhi struktur dan fungsi molekul intra- dan ekstraselular, meningkatkan stres oksidatif serta memodulasi aktivasi sel, transduksi sinyal, dan ekspresi sitokin dan faktor pertumbuhan melalui jalur jalur reseptor-dependent dan independen. Modifikasi matriks ekstraselular oleh produk amadori menyebabkan peningkatan risiko progresifitas komplikasi (Flyvbjerg, 2017). Selain itu, progresifitas komplikasi mikrovaskular dapat disebabkan oleh mekanisme oksidasi dan fragmentasi basa Schiff yang menghasilkan carboxymethyllysine (CML), carboxyethyllysine (CEL), dan pentosidine  (Monnier, 2008).

·         Jalur aldose-reductase/polyol
Jalur polyol berasal dari enzim aldoketoreduktase yang dapat menggunakan komponen karbonil turunan glukosa menjadi substrat dan mereduksinya dengan nicotinamide adenine dinucleotide phospate (NADPH) menjadi gula alkohol (polyol). Terdapat beberapa mekanisme bagaimana hiperglikemia menginduksi jalur polyol sehingga terjadi kerusakan jaringan, yaitu melibatkan sorbitol-induced osmotic stress, penurunan antivitas Na+/K+-ATPase, meningkatkan NADH/NAD+ sitosolik serta menurunkan NADPH sitosolik (Monnier, 2008). Akumulasi sorbitol intraselular yang mana tidak dapat berdifusi dengan mudah melewati membran sel, dapat menghasilkan kerusakan osmotik. Pada kondisi diabetes terjadi penurunan sintesis phosphatidylinositol yang menyebabkan terjadi penghambatan aktivitas  Na+/K+-ATPase sehingga meningkatkan aktivitas jalur polyol (Monnier, 2008).
Komplikasi mikrovaskular yang terjadi antara lain diabetes retinopati, neuropati, dan nefropati.
Ø  Diabetes retinopati
Diabetes retinopati merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes yang paling banyak terjadi. Risiko perkembangan retinopati atau komplikasi mikrovaskular lainnya tergantung pada durasi dan tingkat keparahan diabetes (Fowler, 2008). Kategori diabetes retinopati yaitu non-proliferatif dan proliferatif. Non-proliferatif menggambarkan tahap paling awal terganggunya retina karena diabetes dan dikarakterisasi dengan mikroaneurism, perdarahan sangat kecil, eksudat, dan edema retina. Pada tahap ini, kapiler retina mengalami kebocoran protein, lemak, dan eritrosit dalam retina sehingga macula (area sel-sel visual) mengalami edema dan terjadi gangguan penglihatan. Mekanisme retinopati proliferatif melibatkan pertumbuhan kapiler baru dan fibrosis jaringan dalam retina. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi adanya oklusi pembuluh darah yang kecil sehingga retina hipoksia dan menstimulasi pertumbuhan pembuluh darah baru. Retinopati proliferatif dapat terjadi pada kedua tipe diabetes tapi lebih banyak terjadi pada tipe 1, perkembangannya sekitar 7-10 tahun setelah gejala mulai timbul (Masharani, 2016).
Screening
Pengukuran
Ocular fundus
Fluorescein Angiography




OCT scanning records
Ada/tidaknya lesi pada semua bagian retina
Distribusi fluorescein pada retina. Dapat mendeteksi (1) adanya kebocoran fluorescein pada pembuluh darah retina sebagai indikasi adanya barrier darah-retina, (2) adanya penyumbatan kapiler
Jarak refleksi cahaya pada lapisan retina yang berbeda. Dapat mendeteksi lesi pada retina yang tidak terlihat dengan pemeriksaan biasa dan memperkirakan pembengkakan retina

Ø  Diabetes Nefropati
Diabetes nefropati adalah kondisi kronik yang perkembangannya terjadi beberapa tahun, ditandai dengan peningkatan ekskresi albumin di urin, tekanan darah, risiko kardiovaskular, menurunnya laju filtrasi glomerulus, bahkan gagal ginjal kronik (Marshall & Flyvbjerg, 2017). Individu dengan nefropati akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular lainnya. Sepertiga penderita diabetes akan mengalami peningkatan ke albuminuria grade A3 ( Albumin Excretion Rate/ AER >300 mg/24 jam) dan gagal ginjal stadium akhir (Marshall & Flyvbjerg, 2017). Diet rendah protein (0,8g/kg/hari) diharapkan dapat menurunkan hiperfiltrasi dan mikroalbuminuria (Masharani, 2016).
Screening
Pengukuran
Hasil
Albuminuria


Albumin Excretion Rate (AER)

GFR
30-300 mg/24 jam (Grade A2)
> 300 mg/24 jam (Grade A3)
≤ 45 – 59 mL/menit/1,73m2

Ø  Diabetes Neuropati
Diabetes neuropati merupakan komplikasi diabetes yang terjadi pada hampir 50% pasien diabetes tipe 2. Terdapat 2 kategori diabetes neuropati yaitu neuropati perifer dan otonom. Neuropati perifer dapat berupa distal symmetric polyneuropathy dan isolated peripheral neuropathy. Distal symmetric polyneuropathy merupakan bentuk neuropati perifer yang paling umum dimana terjadi hilangnya fungsi pada bagian distal oleh karena proses neuropatik aksonal. Konduksi saraf sensorik dan motorik akan tertunda di saraf perifer. Sensor yang terganggu pertama kali adalah rangsang terhadap getaran, nyeri, dan suhu dengan pola bilateral dan simetris. Defisiensi sensorik tersebut akan menyebabkan pasien tidak merasakan nyeri sehingga sering terjadi cedera atau luka tanpa dirasakan oleh pasien. Isolated peripheral neuropathy melibatkan neuropati hanya pada satu saraf atau beberapa saraf yang terjadi secara tiba-tiba, dapat disebabkan karena iskemia vaskular atau trauma (Masharani, 2016).
Neuropati otonom terjadi pada pasien diabetes yang lama, mempengaruhi berbagai fungsi viseral termasuk tekanan darah dan nadi, termoregulator, aktivitas gastrointestinal, fungsi kandung kemih, disfungsi ereksi. Manifestasi gangguan aktivitas gastrointestinal antara lain mual, muntah, konstipasi atau diare (bahkan keduanya), fecal incontinensia. Manifestasi klinis yang banyak menyebabkan upaya untuk memperbaiki fungsi organ juga harus spesifik, terutama dengan tetap mengacu pada kontrol kadar glukosa darah (Masharani, 2016).
b.      Komplikasi Makrovaskular
Komplikasi makrovaskular dari diabetes berikut dijabarkan sebagai berikut:
Ø  Dislipidemia
Dislipidemia pada diabetes ditandai dengan meningkatnya kadar trigliserida dan menurunnya kadar HDL kolesterol. Kadar LDL kolesterol pada individu diabetes lebih didominasi oleh bentuk yang lebih kecil dan padat (small dense LDL), yang secara intrinsik lebih bersifat aterogenik dari pada partikel-partikel LDL yang lebih besar. Kerusakan kerja insulin dan keadaan hiperglikemia akan menyebabkan perubahan lipoprotein plasma pada pasien dengan diabetes. Pada diabetes tipe 2, obesitas atau kekacauan metabolisme yang resisten terhadap insulin dapat menjadi penyebab dislipidemia, selain hiperglikemia itu sendiri. Penyebab utama dislipidemia diabetes adalah meningkatnya pelepasan asam lemak bebas dari sel-sel lemak yang resisten terhadap insulin. Peningkatan fluks asam lemak bebas ke dalam hati dalam kondisi adanya persediaan glukagon yang mencukupi mendukung produksi trigliserida, yang akan menstimulasi sekresi Apo B dan VLDL. Melemahnya kemampuan insulin untuk menghambat pelepasan asam lemak bebas mengakibatkan bertambahnya produksi VLDL hepatik yang berkaitan dengan derajat akumulasi lemak hepatik. Hiperinsulinemia, peningkatan VLDL dan kadar trigliserida plasma juga mempengaruhi rendahnya kadar HDL.
Ø  Reologi
Faktor yang mempengaruhi reologi antara lain peningkatan kadar Lp(a) yang berpotensi menunda trombolisis dan berkontribusi pada progresi plak. Jumlah faktor VII ditingkatkan bersamaan dengan komplek thrombin-antitrombin sementara antitrombin III, protein C dan S diturunkan. Rendahnya jumlah faktor ini menyebabkan gangguan pada pnghambatan pembentukan gumpalan dan fibrinolysis. Selain protein sirkulasi dan produk terglikasi, abnormalitas platelet juga terdapat pada DM tipe 1 dan 2. Perubahan meliputi penekanan agregasi platelet dan adhesi. Peningkatan glikasi dari membrane platelet protein yang menyebabkan adhesi dan agregat, sehingga dyslipidemia dengan diabetes secara langsung dan tidak langsung meningkatkan agregasi platelet (Cas, 2001).
Ø  Homosistein
Peningkatan kadar homosistein (He) dalam plasma merupakan penentu independent dalam penyakit makrovaskular. Hal ini penting karena homosistein merupakan titik cabang (metabolit perantara) dalam konversi metionin menjadi sistein. Klirens dari efisiensi metabolik pada individu tergantung pada ketersediaan vitamin B6, B12, dan asam folat. Defisiensi nutrisi dari vitamin ini diketahui dapat menyebabkan peningkatan kadar He sehingga sistein rendah. Kadar diatas 16,2 mM/L berkorelasi dengan penyakit makrovaskular. Pada komplikasi vaskular, peningkatan jumlah He karena koagulabilitas ditekan, disfungsi endotel, dan thrombosis. Studi pada penderita diabetes menunjukkan kenaikan prevalensi kardiovaskular dan pembuluh darah perifer dengan peningkatan He terlepas dari jenis DM. kadar He pada orang normal adalah 9mM/L.
Ø  Kerusakan Endotel
Kerusakan struktur dan fungsi endotel vascular biasanya terkait dengan DM. Abnormalitas ini mempercepat timbulnya aterosklerosis, dengan mekanisme yang berkontribusi adalah hiperglikemia dan dyslipidemia. Hal ini bisa terjadi karena penurunan produksi nitrit oksida yang tidak hanya mengurangi efek vasodilator tapi predisposisi peningkatan prostaglandin, molekul adhesi endotel protein glikasi, trombosit dan faktor pertumbuhan yang meningkatkan tonus vasomotor, permeablilitas vascular, pertumbuhan dan remodeling sistem sel vascular. Rusaknya endotel kapiler vascular mempengaruhi sintesis protein, perubahan ekspresi dan adhesi glikoprotein pada sel endotel. Peningkatan matriks sel endotel akan menyebabkan membrane basal, yang menyebabkan peningkatan ekspresi enzim yang berpartisipasi dalam sintesis kolagen dengan peningkatan kolagen tipe IV dan fibropectin yang berkontribusi menyebabkan aterosklerosis. Perbaikan sel endotel yang lambat akan menyebabkan kematian sel. Semua perubahan yang membuat sel endotel menjadi lebih rentan akan mempercepat terjadi proses aterosklerosis dan penyakit macrovaskular (Cas, S., 2001).
8.    SKRINING DAN PENEGAKAN DIAGNOSA DIABETES MELITUS
Penegakan diagnosa diabetes mellitus dapat ditegakkan secara akut atau melalui skrining. Skrining harus dilakukan pada individu dengan salah satu kriteria berikut :
·         Individu yang memiliki riwayat keluarga diabetes mellitus tipe 1 (skrining status islet autoantibody)
·         Individu dengan BMI ≥ 25 kg/m2 yang memiliki minimal satu faktor resiko (skrining meliputi GDP, HBA1c, dan TTGO)
·         Individu dewasa usia ≥ 45 tahun meskipun tanpa faktor resiko (skrining meliputi GDP, HBA1c, dan TTGO)
·         Anak-anak dan dewasa dengan berat badan > 85th percentile atau berat > 120% dari berat badan ideal, dengan minimal dua faktor resiko (riwayat keluarga, terdapat tanda resistensi insuin, lahir dari ibu dengan DM gestasional). Skrining harus dilakukan setiap 3 tahun dimulai sejak usia 10 tahun atau saat masa pubertas.
·         Saat kehamilan, terutama pada wanita dengan riwayat keluarga diabetes mellitus, riwayat diabetes gestasional, obesitas, atau wanita yang didiagnosa polycystic ovary syndrome
(Triplitt, 2014).
Seseorang didiganosa menderita diabetes mellitus apabila memenuhi sekurang-kurangnya satu dari kriteria diagnostik berikut:
·         HbA1c ≥ 6,5. Tes tersebut harus dilakukan di laboratorium yang menggunakan metode yang disertifikasi oleh NGSP (National Glycohemoglobin Standardization Program) dan distandasisasi oleh DCCT.
·         Glukosa darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dL. Puasa didefinisikan sbagai tidak adanya asupan kalori minimal 8 jam.
·         Glukosa darah 2 jam ≥ 200 mg/dL selama Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO), dengan asupan glukosa yang direkomendasikan adalah 75 gram dilarutkan ke dalam air.
·         Pada pasien dengan tanda hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, gula darah acak ≥ 200 mg/dL
(Triplitt & Reasner, 2011).
9.  DATA LAB BERKAITAN DENGAN DIABETES MELLITUS
·         Glukosa Darah Puasa (GDP)
a.       Rentang normal
-          Anak-anak : < 2 tahun à 60 - 100 mg/dL (3,3 – 5,5 mmol/L)
                                             > 2 tahun à 70 – 110 mg/dL ( < 6,1 mmol/L)
-          Dewasa      : 74 – 106 mg/dL (4,1 – 5,9 mmol/L)
-          Lansia        : 60 – 90 tahun à 82 – 115 mg/dL (4,6 – 6,4 mmol/L)
                                              > 90 tahun     à 75 – 121 mg/dL (4,2 – 6,7 mmol/L)
b. Angka kritis
-   Pria dewasa : < 50 dan > 400 mg/dL
-   Wanita dewasa : < 40 dan > 500 mg/dL
d. Indikasi
Pemerikasaan gula darah puasa merupakan pemeriksaan langsung kadar gula (glukosa) dalam darah. Sample yang digunakan adalah darah tepi. Umumnya pemerikasaan ini digunakan untuk evaluasi kondisi pasien diabetes (Pagana & Pagana, 2014).
e. Penjelasan
Melalui mekanisme umpan balik, kadar glukosa darah dikendalikan oleh insulin dan glukagon (Widmaier, et al., 2016). Pada kondisi puasa, yaitu tanpa adanya intake kalori setidaknya selama 8 jam, terjadi penurunan kadar glukosa darah. Tubuh merespon hal tersebut dengan mensekresi glukagon, yang diproduksi di sel alfa pada islet Langerhans pankreas (Barrett, et al., 2016). Glukagon memicu pemecahan glikogen pada liver menjadi glukosa..Dampaknya, terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Jika masih belum cukup maka yang selanjutnya mengalami pemecahan adalah protein dan asam lemak (Barrett, et al., 2016).
Setelah makan, kadar glukosa darah mengalami peningkatan. Tubuh merespon dengan mensekresi insulin yang diproduksi sel beta pada islet Langerhans pankreas. Insulin memicu uptake glukosa kedalam sel, setelah berikatan dengan reseptor insulin di permukaan sel otot, liver dan adipose (Widmaier, et al., 2016). Glukosa yang kini berada didalam sel kemudian dimetabolisme menjadi glikogen, asam amino, dan asam lemak. Beberapa hormon lain seperti adrenokortikosteroid, adrenokortikotropik (ACTH), epinefrin, growth hormone, dan tiroksin dapat mempengaruhi metabolisme glukosa (Fischbach & Dunning, 2015).
Secara umum, peningkatan kadar glukosa darah dapat mengindikasikan terjadinya diabetes. Namun harus waspada dengan faktor penggangu seperti kedadan stress (asetesi umum, CVA, infark miokard, luka bakar), intoleransi glukosa pada masa kehamilan (jika signifikan disebut diabetes gestasional) dan penggunaan obat-obatan tertentu dari golongan TCA, antispikotik, kortikosteroid, diuretik, epinefrin, estrogen dan niasin (Pagana & Pagana, 2014).
·         Glukosa Darah Postprandial
a.       Rentang normal
Pada 2 jam setelah makan (GD2PP)
-         0 – 50 tahun      : < 140 mg/dL (< 7,8 mmol/L)
-         50 – 60 tahun    : < 150 mg/dL
-         > 60 tahun         : < 160 mg/dL
-         Pada 1 jam setelah makan : < 140 mg/dL
(untuk screening diabetes gestasional)
b.      Indikasi
Pemeriksaan GD2PP adalah pemeriksaan kadar glukosa dalam darah 2 jam setelah makan. Umumnya digunakan untuk penegakan diagnosis DM (Pagana & Pagana, 2014).
c.       Penjelasan
Insulin normalnya disekresikan segera setelah makan sebagai respon peningkatan kadar glukosa darah. Adanya insulin ini, menyebabkan kadar glukosa darah menjadi normal seperti sebelum makan dalam waktu 2 jam. Pada pasien dengan diabetes, kadar glukosa darah umumnya masih tinggi. Pemerikasaan ini mudah dilakukan untuk melakukan uji tapi penderita DM (Pagana & Pagana, 2014). Jika hasilnya lebih dari 140 mg/dL dan kurang dari 200 mg/dL maka uji toleransi glukosa sebaiknya dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Jika kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dL maka diagnosis DM dapat ditegakkan. Pemerikasaan hemoglobin terglikosilasi dapat juga dilakukan untuk mengkonfirmasi temuan pada uji glukosa darah (Fischbach & Dunning, 2015).
Uji tapis glukosa darah 1 jam setelah makan digunakan untuk mendeteksi diabetes gestasional (GDM), yang merupakan komplikasi yang umum terjadi selama kehamilan. Uji tapis ini dilakukan dengan loading 50 – 100 gram glukosa secara oral kemudian diperiksa kadar dalam darah 1 jam kemudian. Uji tapis umumnya dilakukan pada 24 – 28 minggu kehamilan. Namun, jika pasien memiliki faktor resiko mengalami GDM, uji tapi yang lebih awal mungkin dapat dilakukan (Pagana & Pagana, 2014).
·         Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
a.       Nilai Normal
-          Puasa       : < 110 mg/dL
-          30 menit  : < 200 mg/dL
-          1 jam        : < 200 mg/dL
-          2 jam        : < 140 mg/dL
-          3 jam        : 70 – 115 mg/dL
-          4 jam        : 70 – 115 mg/dL
b.      Indikasi
Uji TTGO digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis DM (Pagana & Pagana, 2014).
c.       Penjelasan
TTGO dapat digunakan untuk pasien yang memiliki riwayat keluarga diabetes, obesitas, riwayat infeksi berulang, penyembuhan luka yang lama (terutamanya ekstrimitas bawah), wanita dengan riwayat kelahiran premature atay bayi BB besar atau pasien dengan riwayat glikosuria, hiperglikemia selama kehamilan dan pernah pengalami infark miokard (Pagana & Pagana, 2014).
Pada keadaan normal, tubuh segara merpon intake glukosa dengan mensekresi insulin. Respon ini puncaknya pada menit ke 30 hingga 60 dan kembali normal setelah sekitar 3 jam. Pasien yang respon insulinnya masih normal, masih dapat mentoleransi hal ini, dengan sedikit kenaikan  kadar glukosa darah 1 hingga 2 jam setelah loading glukosa. Sedangkan, pada pasien dengan diabetes kemampuan tersebut banyak berkurang dan menyebabkan gula darah tetap tinggi hingga 5 jam setelah loading glukosa dan seringkali disertai glukosuria (Pagana & Pagana, 2014).
·         Hemoglobin Terglikosilasi (HbA1c)
a.       Nilai Normal
-          Dewasa / anak tidak diabetes : 4% - 5,9%
-          Diabetes yang terkendali dengan baik : < 7%
-          Diabetes yang kurang terkendali : 8% - 9%
-          Diabetes yang tekendali buruk : > 9%
b.      Indikasi
Pemerikasaan HbA1c digunakan untuk menegakkan diagnosis DM, selain itu juga untuk mengetahui kemampuan kendali glukosa darah pasien dalam pengobatan. Pemeriksaan ini memberikan gambaran rerata jangka panjang kadar glukosa darah pasien secara akurat (Pagana & Pagana, 2014).
c.       Penjelasan
Pada orang dewasa, sekitar 98% dari hemoglobin dalam sel darah merah (RBCs) adalah hemoglobin A. Dari jumlah tersebut, sekitar 7% nya adalah tipe HbA1 yang dapat berikatan kuat dengan glukosa melalui proses kimia yang disebut glikosilasi. Ikatan tersebut cenderung irreversible (Barrett, et al., 2016).
HbA1 sebenarnya memiliki subtype A1a, A1b dan A1c. Komponen A1c lah yang paling kuat berikatan dengan glukosa. Sehingga, pengukuran HbA1c adalah pengukuran yang paling akurat untuk mengetahui kadar hemoglobin yang terglikosilasi (Pagana & Pagana, 2014).
Selama RBCs bersirkulasi, HbA1 berikatan dengan glukosa dalam darah membentuk glikohemoglobin (GHb). Jumlah GHb bergantung dari jumlah glukosa yang ada dalam sirkulasi darah selama usia RBC yang sekitar 120 hari. Oleh karena itu, pengukuran GHb mencerminkan rerata kadar glukosa darah selama 100 hingga 120 hari sebelum diperiksa. Semakin banyak RBC terpapar glukosa, semakian tinggi prosentase GHb. Keuntungan dari pemeriksaan HbA1c adalah bahwa sampel bisa diambil kapanpun, karena tidak terpengaruh oleh variasi jangka pendek (misalnya intake makanan, aktivitas, stress, obat) (Fischbach & Dunning, 2015).
Glukosa juga dapat berikatan secara nonenzimatis dengan protein membentuk protein terglikosilasi. Bentuk ini relatif stabil hingga protein tersebut didegradasi tubuh. Salah satu bentuk protein yang bisa juga diukur untuk mengetahui kemampuan kendali glukosa darah pasien adalah albumin terglikosilasi. Hasil tersebut mencerminkan kendali glukosa darah pasien selama sekitar 15 – 20 hari kebelakang, sesuai dengan usia albumin yang sekitar 20 hari (Fischbach & Dunning, 2015).
Dengan perhitungan yang sederhana, GHb dapat secara akurat menunjukkan rata-rata kadar glukosa darah. Hal ini penting bagi diabetisi dan tenaga kesehatan yang menanganinya untuk mengevaluasi capaian kendali glukosa. Perhitungannya sebagai berikut:
MPG (mean plasma glucose) = (35,6 x GHb) – 77,3
Setiap kenaikan 1% GHb mencerminkan perubahan sekitar 35 mg/dL MOG atau 2 mmol/L (Pagana & Pagana, 2014).
Hasil GHb menjadi kurang akurat jika pasien mengalami kondisi yang mempegaruhi produksi atau perombakan dari hemoglobin seperti anemia hemolitik atau transfusi darah (Pagana & Pagana, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2017. Standards of Medical Care in Diabetes-2017. Diabetes Care 2017 ; 40 (Suppl. 1) : S1–S2 | DOI : 10.2337/dc17-S001
Barrett, K. E., Barman, S. M., Boitano, S. & Brooks, H. L., 2016. Ganong's Review of Medical Physiology. 25th ed. New York: McGraw Hill Education.
Bek, T. 2017. Diabetes Retinopathy. Textbook of Diabetes. Fifth edition. Editor : Holt, R, Cockram, C, Flyvbjerg, A, Goldstein, B. John Wiley & Sons. pp : 556
Cas, S. 2001. Current Understanding of Risk Factors and Mechanisme in the Pathogenesis of Macrovascular Disease on Diabetes Mellitus. Journal Indian Academy of Clinincal Medicine (2): 3.
Diabetes Control and Complications Trial/Epidemiology of Diabetes Interventions and Complications Research Group, 2000. Dalam Flyvbjerg, A. 2017. Microvascular complication in diabetes. Textbook of Diabetes. Fifth edition. Editor : Holt, R, Cockram, C, Flyvbjerg, A, Goldstein, B. John Wiley & Sons. p: 546
Fischbach, F. T. & Dunning, M. B., 2015. A Manual of Laboratory and Disgnostic Test. 9th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health.
Flyvbjerg, A. 2017. Microvascular complication in diabetes. Textbook of Diabetes. Fifth edition. Editor : Holt, R, Cockram, C, Flyvbjerg, A, Goldstein, B. John Wiley & Sons. pp : 544-546
Folli, F. et. al., 2011. The Role of Oxidative Stress in the Pathogenesis of Type 2 Diabetes Mellitus Micro- and Macrovascular Complications: Avenues for a Mechanistic-Based Therapeutic Approach. Current Diabetes Reviews (7) : 313-324.
Forbes, M, J dan M. E. Cooper. 2013. Mechanism of Diabetic Complications. American Physiological Society (93) : 137-188.
Fowler, M.J. 2008. Microvascular and macrovascular complication of diabetes. Clinical Diabetes. 26 : 77-82
Marshall, S.M, Flyvbjerg, A. 2017. Diabetic nephropathy. Textbook of Diabetes. Fifth edition. Editor : Holt, R, Cockram, C, Flyvbjerg, A, Goldstein, B. John Wiley & Sons. pp : 566-570
Masharani, U. 2016. Diabetes Mellitus & Hypoglycemia. Dalam: Current Medical Diagnosis & Treatment. Fifty-fifth edition. Editor : Papadakis, M.A, McPhee, S.J, Rabow, M.W. Mc Graw Hill Education. pp : 1218
Pagana, K. D. & Pagana, T. J., 2014. Mosby's Manual of Diagnostic and Laboratory Test. 5th ed. St.Louis: Elsevier Mosby.
PERDIK. 2013. Pedoman Tatalaksana Dislipdemia. Centra Communications : Indonesia.
Powers, Alvin C. 2015. Diabetes mellitus: Diagnosis, Classification, and Pathophysiology. In: Kasper, Dennis L., et al. 2015. Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th edition. New York: McGraw-Hill Education, pp. 2399.
 Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar Diabetes Melitus. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2013, Diakses : 31 Januari 2017.
Sjamsiah, S.S., Sutjahjo, A. 2014. Farmakoterapi Asuhan Kefarmasian Obat pada Diabetes Mellitus. Airlangga University Press, hal 18.
Triplitt, Curtis L., Repas, Thomas., Alvarez, Carlos A. 2014. Diabetes Mellitus. In: Dipiro, T.J., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach  9th edition. New York: McGraw-Hill Education, Inc,
Widmaier, E. P., Raff, H. & Strang, K. T., 2016. Vander's Human Physiology - The Mechanisms of Body Function. 10th ed. New York: McGraw Hill Education.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar