Jumat, 10 Februari 2017

Sindroma polikiste ovarium/Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)

                             
PATOFISIOLOGI DAN TERAPI PADA PCOS (POLYCYSTIC OVARY SYNDROME)
A.    PENDAHULUAN
1.      SIKLUS REPRODUKSI NORMAL WANITA

Gambar 1. Fisiologi reproduksi wanita dan siklus menstruasi normal (Davidson,S. S.,  2010)

Pengaturan hormone reproduksi diatur oleh hipotalamus yang melepaskan gonadotropine releasing hormone (GnRH) dibawah control inhibitory hipotalamus releasing factor. GnRH akan merangsang sekresi gonadotropin yaitu Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) dari kelenjar hipofisis anterior. FSH akan merangsang perkembangan dan pertumbuhan folikel ovarium serta memproduksi hormone di ovarium. Folikel primer dan oosit primer dalam ovarium akan tumbuh sampai hari ke-14 setelah menstruasi hingga folikel menjadi matang dengan ovum didalamnya  yang disebut dengan Folikel de Graaf. FSH dan estrogen merangsang proliferasi sel granulosa. FSH dan LH diperlukan untuk sintesis eksresi estrogen oleh folikel. Androgen banyak diproduksi di sel teka yang akan diubah menjadi estrogen di sel granulosa. Sel teka mempunyai kemampuan terbatas untuk mengubah androgen menjadi estrogen. Peningkatan kadar estrogen menyebabkan umpan balik negative atau terjadi penghambatan terhadap pelepasan FSH lebih lanjut dari hipofisis. Penurunan konsentrasi FSH oleh karena peningkatan estrogen akan  menyebabkan hipofisis anterior mensekresi LH yang merangsang pelepasan oosit sekunder dari folikel de Graaf untuk siap dibuahi sperma (ovulasi). LH bekerja pada sel teka untuk merangsang pembentukan androgen, sementara FSH bekerja pada sel granulosa untuk meningkatkan perubahan androgen menjadi estrogen. Kadar FSH yang rendah sudah cukup untuk mendorong perubahan androgen menjadi estrogen, tetapi  kecepatan sekresi estrogen oleh folikel tergantung pada kadar LH dalam darah yang terus meningkat selama proses  folikel. Selain itu, sewaktu folikel terus tumbuh, estrogen yang dihasilkan juga meningkat karena bertambahnya jumlah sel folikel penghasil estrogen. Saat masa ovulasi, folikel de Graaf  akan mengeluarkan oosit sekunder karena pengaruh LH dan FSH sehingga folikel kan berkerut dan berubah menjadi korpus luteum. Korpus luteum tetap memproduksi estrogen (namun tidak sebanyak folikel de Graaf memproduksi estrogen) dan hormon lainnya, yaitu progesteron. Progesteron mendukung kerja estrogen dengan menebalkan dinding dalam uterus atau endometrium dan menumbuhkan pembuluh-pembuluh darah pada endometrium. Progesteron juga merangsang sekresi lendir pada vagina dan pertumbuhan kelenjar susu pada payudara. Keseluruhan fungsi progesteron (juga estrogen) tersebut berguna untuk menyiapkan penanaman (implantasi) zigot pada uterus bila terjadi pembuahan atau kehamilan. Jika tidak terjadi kehamilan, maka korpus luteum akan berubah menjadi korpus albikan. Korpus albikan memiliki kemampuan produksi estrogen dan progesteron yang rendah, sehingga konsentrasi estrogen dan progesteron akan menurun. Pada kondisi ini, hipofisis menjadi aktif untuk melepaskan FSH dan selanjutnya LH, sehingga akan tersambung kembali dengan fase menstruasi berikutnya (Davidson,S.S., 2010 dan Norwitz, E. R dan Schorge. J. E., 2013).

2.      PCOS
            Prevalensi PCOS pada wanita reproduktif adalah 6-10%, yang mirip pada seluruh popoulasi yang berbeda diseluruh dunia (Goodarzi,M. O., et. al.,  2011).  Sindrom polikistik ovarium/PCOS adalah gangguan hiperandrogenik berkaitan dengan oligoanovulasi kronik dan morfologi polikistik dalam ovarium. Hal ini sering dikaitkan dengan gangguan psikologis termasuk depresi dan gangguan suasana hati lainnya. Selain itu, resistensi insulin dan adanya hyperinsulinemia juga dianggap sebagai faktor utama penyebab PCOS karena bertanggung jawab dalam produksi perubahan androgen dan metabolismenya. Kebanyakan wanita dengan PCOS disertai dengan kelebihan berat badan atau obesitas, gangguan metabolism androgen sehingga meningkatkan sekresinya, serta gangguan fungsi reproduksi (Pasquali, R., et. al., 2011). Folikulogenesis yang abnormal dan produksi gonadotropin juga berkontribusi terhadap pengembangan PCOS. Maka itu, komplikasi dari PCOS termasuk infertilitas, komplikasi obstetric, diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung, gangguan suasana hati dan makan. Jadi, pengobatan PCOS harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik masing-masing pasien. Tujuan terapi mungkin termasuk memperbaiki gejala hiperandrogen, merangsang ovulasi, mengatur menstruasi, dan mencegah komplikasi metabolic jantung (Goodarzi,M. O., et. al.,  2011).

B.        PATOFISIOLOGI
Gambar 2. Patofisiologi PCOS (Chang, R, J., 2007)

PCOS dideteksi dengan USG didapatkan morfologi polikistik ovarium dengan 12 atau lebih folikel berukuran  diameter 2-9 mm atau peningkatan volume ovarium (>10 cm3). Selain itu, kadar  hormone LH pada pasien PCOS tinggi, hipersekresi LH melibatkan kelainan atau abnormal umpan balik ovarium-hipofisis bukan karena gangguan primer regulasi puls hipotalamus (Pasquali, R., et. al., 2011). Kadar hormone LH yang tinggi disebabkan oleh peningkatan pulsatile pelepasan GnRH dan  menyebabkan kadar FSH menurun (umpan balik negative). PCOS ditandai dengan kadar LH  yang meningkat dan  kadar FSH menjadi turun secara kronik, meskipun pada siklus haid normal juga terjadi penurunan dan peningkatan hormone tersebut. Tingginya kadar LH menyebabkan stroma ovarium dan sel teka untuk meningkatkan produksi androgen. Di perifer, androgen dikonversi melalui reaksi aromatisasi menjadi estrogen, dan kadar FSH yang rendah menyebabkan anovulasi. Peningkatan produksi androgen menyebabkan terganggunya perkembangan folikel terganggu sehingga tidak dapat memproduksi folikel yang matang (corpus luteum dan corpus albican jarang terlihat) sehingga berkurangnya estrogen yang dihasilkan ovarium,  tidak adanya lonjakan LH yang memicu ovulasi, serta peningkatan androgen berperan atas pencegahan maturase foliker dan menginduksi folikel atresia terlalu dini (Chang, R. J., 2007).. Proses inilah yang menyebabkan keadaan infertile pada pasien PCOS.
Selain itu, adanya PCOS beresiko pada pasien obesitas yang diduga memiliki resistensi insulin. Insulin mungkin berpengaruh langsung dan tidak langsung pada pathogenesis androgen yang berlebihan pada pasien PCOS. Insulin menstimulasi produksi androgen di ovarium dan mengurangi sintesis SBHG (sex binding hormone globuline)  hepatic, sehingga meningkatkan total dan androgen bioavaliabel. Insulin bertindak sinergis dengan LH untuk meningkatkan produksi  androgen sel teka pada pasien PCOS dengan mengaktifkan jalur spesifik melalui reseptornya (Chang, R. J., 2007).
Gejala yang paling terlihat pada PCOS adalah hirsutisme ditandai dengan peningkatan pertumbuhan rambut terjadi terutama pada wajah, dagu dan leher, serta bagian bawah perut dengan pola seperti laki-laki. Tingkat pertumbuhan rambut menunjukkan neoplastic dari produksi androgen. Pada PCOS, jumlah hirsutisme berkorelasi dengan konsentrasi serum androgen. Selain itu munculnya jerawat berlebih sebagai akibat hiperandrogenemia juga merupakan tanda hirsutisme.Kelebihan androgen berasal dari pengaruh sel teka pada wanita PCOS. CP17A (sitokrom P450 17A1) adalah enzim yang mengkatalisis dua kegiatan berbeda dari 17 α-hidrosilase dan 17,20-lyase yang merupakan kunci pada produksi androgen ovarium. Secara in vitro, sel teka PCOS meningkatkan aktivitas 17 α-hidrosilase, 17,20-lyase, dan 3β-hidroksisteroid dehydrogenase dibandingkan pada sel teka wanita normal, sehingga peningkatan aktivitas enzim akan menyebabkan produksi androgen lebih besar (Chang, R. J., 2007).
                 Terjadinya hyperinsulinemia pada PCOS memperburuk terjadinya folikel atresia yang menyebabkan hiperandrogen oleh stimulasi 17α hidroksilase pada sel teka. Hipersulinemia juga menguatkan stimulasi LH dan IGF-1 (Insulin-like growth factor 1) untuk menstimulasi produksi androgen yang menyebabkan kadar testosterone bebas dalam darah meningkat melalui penurunan SBHG di hati dan peningkatan bioaktivitas IGF-1 melalui penekatan produksi pengikatan IGF (Goodarzi, M. O., et. al., 2011).

C.       PENATALAKSANAAN TERAPI
Manajemen terapi wanita dengan PCOS tergantung pada gejala, terkait dengan disfungsi infertilitas, gangguan haid atau gejala lain yang berhubungan dengan androgen.
1.   Menurunkan Berat Badan
            Kehilangan berat badan akan meningkatkan profil endokrin dan kemungkinan ovulasi serta kehamilan. Normalisasi siklus menstruasi dan ovulasi terjadi dengan sederhana dengan menurunkan berat badan 5-13% dari berat badan awal. Turunnya berat badan tidak hanya meningkatkan sirkulasi androgen glukosa tetapi kehamilan pada wanita PCOS walaupun diet diperuntukkan untuk yang obesitas dengan BMI > 25-27 kg/m2 . Treatment untuk obesitas termasuk modifikasi gaya hidup (diet dan olahraga).
2.      Induksi Ovulasi
            Pada PCOS, anovulasi berkaitan dengan konsentrasi FSH yang rendah dan pertumbuhan folikel antral yang terhambat pada tahapakhir maturase. Peningkatan LH, androgen, dan insulin secara individu memainkan peranan langsung dan tidak langsung, menambah steroidogenesis tetapi pertumbuhan folikel terganggu. Untuk kebanyakan wanita, infertilitas menjadi suatu masalah sehingga diperlukan pengobatan untuk menginduksi ovulasi.
a.      CC (Clomifen Citrat)
           CC adalah antagonis reseptor estrogen yang mengganggu umpan balik negative dari jalur puls estrogen, mengakibatkan peningkatan ketersediaan FSH. Peningkatan FSH menyebabkan pertumbuhan folikel, diikuti dengan lonjakan LH dan ovulasi. CC diindikasikan pada pasien dengan PCOS dan anovulasi dengan tingkat FSH normal, tetapi memiliki keterbatasan dengan pasien BMI>30 dan usia lanjut.
CC diberikan dengan dosis 50-150 mg selama 5 hari, dimulai pada hari ke 3 atau ke 5 dari siklus induksi progestin. CC menghasilkan ovulasi pada 75%-80% pasien PCOS. CC adalah terapi perawatan lini pertama untuk induksi pasien PCOS, ekonomis, mudah, sedikit efek samping, dan membutuhkan sedikit monitoring. Tamoxifen dengan mekanisme serupa dengan CC bisa menginduksi ovulasi tetapi tidak memiliki efek antiestrogenik di endometrium dan Rahim, bisa sebagai alternative jika terjadi kegagalan  dan resistensi CC (Hamburg, R. 2005, Legro R. S. et. al., 2007, Messinis I. E., 2005 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).                    
b.      Metformin
            Metformin adalah biguanida yang digunakan untuk antihiperglikemik untuk diabetes mellitus tipe 2. Penggunaan metformin berhubungan dengan peningkatan siklus  menstruasi, meningkatkan ovulasi, dan pengurangan kadar androgen dalam darah. Penggunaan metformin juga bermanfaat dalam metabolic yaitu menurunkan berat badan. Mekanisme kerja metformin yaitu, menghambat produksi glukosa di hepar, juga menurunkan penyerapan glukosa di usus serta meningkatkan sensitivitas insulin di perifer. Metformin pada pasien PCOS meningkatkan induksi ovulasi dengan mengurangi dan mengubah efek insulin pada biosintesis androgen ovarium, proliferasi sel teka, dan pertumbuhan endometrium. Selain itu, berpotensi menghambat gluconeogenesis ovarium dan dengan demikian mengurangi produksi androgen ovarium (Sam. S dan A. Dunaif, 2003, Grundy, S. M., 2002 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).
           Penggunaan metformin dimulai dengan 500 mg sehari dengan makanan untuk meningkatkan toleransi pasien. Setelah 1 minggu, dosis ditingkatkan menjadi 1000 mg per hari, kemudian dilanjutkan 1500 mg di minggu selanjutnya. Target dosis adalah 1500-2550 mg per hari (500 atau 850 mg, 3 kali sehari). Efek samping yang biasanya terjadi adalah mual dan diare. (Glueck, C. J.et. al., 2002 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011)..
           Kombinasi metformin dengan CCmeningkatkan ovulasi secara signifikan dibandingkan dengan monoterapi. Pada pasien dengan resisten CC, metformin tidak memberikan manfaat dibandingkan placebo pada ovulasi dan kehamilan, tetapi kombinasi CC dan metformin signifikan meningkatkan ovulasi dan kecepatan hamil dibanding penggunaan CC saja (Moll, E., et. al., 2006 dan Creanga, A. A., et. al., 2008 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).
           Obat lain dengan kategori yang sama, rosiglitazone (8mg/hari), menunjukkan peningkatan ovulasi pada pasien PCOS dengan kombinasi CC dengan BMI 35.5-38.5 kg/m2 . Pioglitazone juga memiliki efektifitas yang sama, tetapi keduanya termasuk ke dalam kategor C untuk kehamilan. Jika digunakan, maka harus segera dihentikan setelah diketahui hamil (Tang, T et. al., 2010 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).
c.       Inhibitor aromatase
           Inhibitor aromatase selektif seperti anastrazole dan letrozole adalah agen yang menginduksi ovulasi bersifat reversible dan highly potent. Saat ini, letrozole dipelajari jauh lebih luas daripada anastrazole. Letrozole menghambat produksi estrogen di hipotalamus, menyebabkan peningkatan pengeluaran GnRH dan FSH. Inhibitor aromatase menginduksi ovulasi karena aksi selektif memblokir bagian perifer  androgen menjadi estrogen sehingga kadar estrogen diturunkan, menghasilan umpan balik positif di hipofisis, meningkatkan FSH, dan mengoptimalkan ovulasi. Keuntungan letrozole adalah menghindari efek antiestrogenik perifer di endometrium pada saat pertumbuhan folikel (Carrol, N dan J. R Palmer, 2001 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).
           Letrozole digunakan dengan dosis 2.5-5 mg selama 5 hari jika nilai FSH normal dan hCG (guman chorionic gonadotropin) 10.000 IU ketika diameter folikel mencapai 18 mm untuk program ovulasi (Badawy, A, et. al., 2008 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).

d.      Glucocorticoid
           Glucocorticoid seperti prednisone dan dexametason telah digunakan untuk menginduksi ovulasi. Pasien PCOS dengan adrenal androgen yang tinggi, dosis rendah (0.25-0.5 mg) pada saat waktu tidur dapat digunakan. Studi menunjukkan dari 230 wanita dengan PCOS yang gagal ovulasi dengan 200 mg CC selama 5 hari, penambahan dexamethasone 2 mg dari hari ke 5-14 meningkatkan kecepatan ovulasi dan kehamilan. Penggunaan jangka panjang harus dipertimbangkan mengingat efek samping dan sensitivitas insulin (Parsanezad, M. E, et. al., 2002 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).
e.       Gonadotropin
           Terapi lini kedua yang memungkinkan setelah resistensi CC pada wanita PCOS adalah gonadotropin exogen dengan mekanisme aksi menginduksi ovulasi, memperbaiki pertumbuhan optimal folikel melalui control penggunaan FSH dan mencapai folikel yang mampu untuk dibuahi. Kelemahan gonadotropin adalah bisa memprovokasi beberapa perkembangan folikel, sehingga meningkatkan resiko syndrome hiperstimulasi ovarium (OHSS) dan kehamilan kembar.
           Beberapa protocol treatmen telah dianjurkan seperti step-up, low dose-step up, dan step-down regimen. Direkomendasikan menggunakan protocol gonadotropin dosis rendah. Pendekatan step-up yang direkomendasikan dimulai dengan minimum dosis (37.5-50 IU/hari) yang akan ditingkatkan berdasarkan respon berkurangnya foliker. Control dengan USG, dan regimen dimodifikasi setelah 1 minggu tidak ada pertumbuhan folikel yang meningkat 50%. HCG digunakan untuk sebagai pengganti untuk lonjakan LH, mengarah ke pematangan oosit, pecahnya folikel, dan pembentukan corpus luteum. Regimen step down dimulai dengan maksimal dosis yang direkomendasikan, yang berkurang seiring dengan respon folikel tercapai. Dosis dikurangi 50% setiap kali regimen diubah. Studi terbaru menunjukkan bahwa penggunaan step-down lebih aman (Christin, M, et. al., 2003 dan Filicori, M, et. al., 2001 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).


f.       Laparoscopic Ovarian diathermy (LOD)
           Terapi ini digunakan untuk wanita yang resistensi CC dan tidak bisa diberikan gonadotropin, bedah laparoskopi ovay bilateral dengan electrocautery monopolar (multiple controlled perforation of the ovary)  atau laser adalah alternative yang bisa digunakan, dan keduanyamemberikan hasil yang sama. Dalam database Cochrane tidak ada bukti perbedaan angka kelahiran hidup dan angka kaguguran pada wanita dengan PCOS resistensi CC yang menjalani LOD dibanding pengobatan gonadotropin. Terappi ini efektif untuk pasien dengan LH yang tinggi, danpengurangan LH dan androgen signifikan telah dibuktikan dalam pembedahan LOD. LOD mengembalikan keteraturan siklus menstruasi di 63%-85% wanita. Treatment dengan metformin sama berkhasiat memperbaiki klinis, endokrin, dankelainan lain berhubungan dengan PCOS (Palomba, S. et. al., 2007, Al-Fadhil, R., 2004 dan Palomba, S et. al., 2005 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).

3.      Treatment untuk disfungsi mentsrual
           Anovulasi kronik dikaitkan dengan peningkatan resiko hyperplasia endometrium dan karsinoma. Pasien PCOS yang tidak mengalami siklus menstruasi selama 1 tahun atau lebih disarankan untuk mempertimbangkan biopsy endometrium. Penggunaan USG untuk menentukan ketebalan endometrium, bisa digunakan untuk memutuskan dilakukannya biopsy endometrium. Proliferasi endometrium dapat dihambat dengan pemberian baik progestin siklin atau kontrasepsi oral dengan kombinasi estrogen dan progestin (Balen, A, 2001 dan Nader, S, 2008 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).

4.      Treatment gejala berkaitan dengan androgen
a.      Kontrasepsi oral
           Untuk wanita yang tidak menginginkan kehamilan, dapat diobati dengan pil kontrasepsi oral yang akan mengurangi hiperandrogenisme dengan mempromosikan umpan balik negative langsung pada sekresi LH yang mengakibatkan sintesis andogen ovarium menurun. Selanjutnya, kontrasepsi oral akan meningkatkan produsi SHBG (sex hormone-binding globulin) sehingga kadar androgen bebas menurun. Mekanisme lain termasuk pengurangan sekresi androgen adrenal dan penghambatan konversi testosterone menjadi dihydrotestosterone di perifer dan mengikat dihidrotestosteron pada reseptor androgen (Azziz R, 2010 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011). Kombinasi terapi progestin dan estrogen (Kombinasi dalam kontrasepsi oral)  adalah pengobatan dominan menyebabkan  hirsutisme dan jerawat pada PCOS, terapi dilakukan 6-9 bulan sebelum terjadi peningkatan hirsutism.
b.      Antiandrogen
           Antiandrogen seperti spironolakron, CPA (cyproterone acetate), atau flutamide berkerja dengan penghambatan kompetitif reseptor androgen binding atau dengan menurunkan produksi androgen.
           Spironolakton merupakan antagonis aldosterone yang dose-dependent berkompetisi dengan reseptor androgen dan dapat menghambat aktivitas  5 α reductase. Spironolakton memiliki efek antiandrogenik moderat bila diberikan dalam dosis besar (100-200 mg setiap hari), dibuktikan pada efek hirsutisme yang diinduksi oleh kontrasepsi oral. Meskipun ditoleransi dengan baik, kadang-kadang menyebabkan kelelahan, hipotensi postural, dan pusing jika diberikan dalam dosis tiggi, sehingga menyebabkan ketidakteraturan dalam menstruasi. Efek feminism pada janin laki-laki bisa disebabkan oleh monoterapi wanita PCOS.
           CPA adalah antiandrogen progestasional. CPA menghambat secara kompetitif pengikatan testosterone dan lebih potent untuk konversi 5α dihydrotestosterone ke reseptor androgen. Digunakan dengan dosis tinggi 50-100 mg dengan regimen sekuensial pada 10 hari siklus.
           Flutamide adalah non steroid, antiandrogen seletif tanpa efek progestogenik. Obat ini dipasarkan untuk mengobati kanker prostat dan sangat efektif dalam mengobati hirsutisme. Dosis 500 mg sama efektif dengan penggunaan spironolakton 100 mg pada wanita hirsutisme idiopatik, dengan dosis efektif minimal 125 mg.
c.       Glukokortikoid
           Wanita dengan PCOS mengalami peningkatan androgen adrenal, dengan kontribusi disfungsi ovulasi. Glukokortikoid menekan sekresi androgen adrenal dan telah digunakan pada pasien dengan hiperandrogenisme adrenal. Penggunaannya terutama pada pasien dengan hyperplasia adrenal kongenital klasi, dan dapat membantu mencegah dan memperbaiki hirsutisme dan siklus ovulasi.
d.      Topical treatment
           Eflornithine hidroklorida, adalah inhibitor enzim ornithine dekarboksilase pada kulit manusi, digunakan untuk pasien hirsutisme secara topical selama 6-8 minggu (Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).


























DAFTAR PUSTAKA
Badawy, A dan A. Elnashar, 2011. Treatment options for polycystic ovary syndrome (Review). International Journal of Women’s Health (3) : 25-35.
Chang, R. J., 2007. The reproductive phenotype in polycystic ovary syndrome. Nature Clinical Practice Endocrinology & Metabolism Volume 3 (10).
Goodarzi, M. O, et. al., 2011. Polycystic ovary syndrome : etiology, pathogenesis, and diagnosis (Review). Natural Review Endocrinol (7) : 219-231.
Norwitz, E. R dan Schorge, J. O. 2013. Obstetric and Gynecology at a Glance Ed 4th. John Wiley & Sons Ltd : UK.
Pasquali, R. et. al., 2011. PCOS Forum : Research in polycystic ovary syndrome today and tomorrow (Research Overview). Clinical Endocrinology (74) : 424-433.

Vander, 2006. Reproduction dalam Vander’s Human Physiology. The Mechanism of Body Function Edisi 10. Ch. 17. McGraw Hill Publication.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar