PATOFISIOLOGI
DAN TERAPI PADA PCOS (POLYCYSTIC OVARY
SYNDROME)
A. PENDAHULUAN
1.
SIKLUS
REPRODUKSI NORMAL WANITA
Gambar 1.
Fisiologi reproduksi wanita dan siklus menstruasi normal (Davidson,S. S., 2010)
Pengaturan hormone reproduksi
diatur oleh hipotalamus yang melepaskan gonadotropine
releasing hormone (GnRH) dibawah control inhibitory hipotalamus releasing
factor. GnRH akan merangsang sekresi gonadotropin yaitu Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) dari kelenjar hipofisis anterior. FSH akan
merangsang perkembangan dan pertumbuhan folikel ovarium serta memproduksi
hormone di ovarium. Folikel primer dan oosit primer dalam ovarium akan tumbuh
sampai hari ke-14 setelah menstruasi hingga folikel menjadi matang dengan ovum
didalamnya yang disebut dengan Folikel
de Graaf. FSH dan estrogen merangsang proliferasi sel granulosa. FSH dan LH diperlukan
untuk sintesis eksresi estrogen oleh folikel. Androgen banyak diproduksi di sel
teka yang akan diubah menjadi estrogen di sel granulosa. Sel teka mempunyai
kemampuan terbatas untuk mengubah androgen menjadi estrogen. Peningkatan kadar
estrogen menyebabkan umpan balik negative atau terjadi penghambatan terhadap
pelepasan FSH lebih lanjut dari hipofisis. Penurunan konsentrasi FSH oleh
karena peningkatan estrogen akan menyebabkan
hipofisis anterior mensekresi LH yang merangsang pelepasan oosit sekunder dari
folikel de Graaf untuk siap dibuahi sperma (ovulasi). LH bekerja pada sel teka
untuk merangsang pembentukan androgen, sementara FSH bekerja pada sel granulosa
untuk meningkatkan perubahan androgen menjadi estrogen. Kadar FSH yang rendah
sudah cukup untuk mendorong perubahan androgen menjadi estrogen, tetapi kecepatan sekresi estrogen oleh folikel
tergantung pada kadar LH dalam darah yang terus meningkat selama proses folikel. Selain itu, sewaktu folikel terus tumbuh, estrogen yang
dihasilkan juga meningkat karena bertambahnya jumlah sel folikel penghasil
estrogen. Saat masa ovulasi, folikel de Graaf akan mengeluarkan
oosit sekunder karena pengaruh LH dan FSH sehingga folikel kan berkerut dan
berubah menjadi korpus luteum. Korpus luteum tetap memproduksi estrogen (namun
tidak sebanyak folikel de Graaf memproduksi estrogen) dan hormon lainnya, yaitu
progesteron. Progesteron mendukung kerja estrogen dengan menebalkan dinding
dalam uterus atau endometrium dan menumbuhkan pembuluh-pembuluh darah pada endometrium.
Progesteron juga merangsang sekresi lendir pada vagina dan pertumbuhan kelenjar
susu pada payudara. Keseluruhan fungsi progesteron (juga estrogen) tersebut
berguna untuk menyiapkan penanaman (implantasi) zigot pada uterus bila terjadi
pembuahan atau kehamilan. Jika tidak terjadi kehamilan, maka korpus luteum akan
berubah menjadi korpus albikan. Korpus albikan memiliki kemampuan produksi
estrogen dan progesteron yang rendah, sehingga konsentrasi estrogen dan
progesteron akan menurun. Pada kondisi ini, hipofisis menjadi aktif untuk
melepaskan FSH dan selanjutnya LH, sehingga akan tersambung kembali dengan fase
menstruasi berikutnya (Davidson,S.S., 2010 dan Norwitz, E. R dan Schorge. J.
E., 2013).
2.
PCOS
Prevalensi
PCOS pada wanita reproduktif adalah 6-10%, yang mirip pada seluruh popoulasi
yang berbeda diseluruh dunia (Goodarzi,M. O., et. al., 2011).
Sindrom polikistik ovarium/PCOS adalah gangguan hiperandrogenik
berkaitan dengan oligoanovulasi kronik dan morfologi polikistik dalam ovarium.
Hal ini sering dikaitkan dengan gangguan psikologis termasuk depresi dan
gangguan suasana hati lainnya. Selain itu, resistensi insulin dan adanya
hyperinsulinemia juga dianggap sebagai faktor utama penyebab PCOS karena
bertanggung jawab dalam produksi perubahan androgen dan metabolismenya.
Kebanyakan wanita dengan PCOS disertai dengan kelebihan berat badan atau
obesitas, gangguan metabolism androgen sehingga meningkatkan sekresinya, serta
gangguan fungsi reproduksi (Pasquali, R., et. al., 2011). Folikulogenesis yang
abnormal dan produksi gonadotropin juga berkontribusi terhadap pengembangan
PCOS. Maka itu, komplikasi dari PCOS termasuk infertilitas, komplikasi
obstetric, diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung, gangguan suasana hati
dan makan. Jadi, pengobatan PCOS harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik
masing-masing pasien. Tujuan terapi mungkin termasuk memperbaiki gejala
hiperandrogen, merangsang ovulasi, mengatur menstruasi, dan mencegah komplikasi
metabolic jantung (Goodarzi,M. O., et. al., 2011).
B.
PATOFISIOLOGI
Gambar
2. Patofisiologi PCOS (Chang, R, J., 2007)
PCOS dideteksi dengan USG
didapatkan morfologi polikistik ovarium dengan 12 atau lebih folikel
berukuran diameter 2-9 mm atau
peningkatan volume ovarium (>10 cm3). Selain itu, kadar hormone LH pada pasien PCOS tinggi,
hipersekresi LH melibatkan kelainan atau abnormal umpan balik ovarium-hipofisis
bukan karena gangguan primer regulasi puls hipotalamus (Pasquali, R., et. al.,
2011). Kadar hormone LH yang tinggi disebabkan oleh peningkatan pulsatile
pelepasan GnRH dan menyebabkan kadar FSH
menurun (umpan balik negative). PCOS ditandai dengan kadar LH yang meningkat dan kadar FSH menjadi turun secara kronik,
meskipun pada siklus haid normal juga terjadi penurunan dan peningkatan hormone
tersebut. Tingginya kadar LH menyebabkan stroma ovarium dan sel teka untuk
meningkatkan produksi androgen. Di perifer, androgen dikonversi melalui reaksi
aromatisasi menjadi estrogen, dan kadar FSH yang rendah menyebabkan anovulasi.
Peningkatan produksi androgen menyebabkan terganggunya perkembangan folikel
terganggu sehingga tidak dapat memproduksi folikel yang matang (corpus luteum
dan corpus albican jarang terlihat) sehingga berkurangnya estrogen yang
dihasilkan ovarium, tidak adanya
lonjakan LH yang memicu ovulasi, serta peningkatan androgen berperan atas
pencegahan maturase foliker dan menginduksi folikel atresia terlalu dini
(Chang, R. J., 2007).. Proses inilah yang menyebabkan keadaan infertile pada
pasien PCOS.
Selain itu, adanya PCOS beresiko pada pasien
obesitas yang diduga memiliki resistensi insulin. Insulin mungkin berpengaruh
langsung dan tidak langsung pada pathogenesis androgen yang berlebihan pada
pasien PCOS. Insulin menstimulasi produksi androgen di ovarium dan mengurangi
sintesis SBHG (sex binding hormone
globuline) hepatic, sehingga
meningkatkan total dan androgen bioavaliabel. Insulin bertindak sinergis dengan
LH untuk meningkatkan produksi androgen
sel teka pada pasien PCOS dengan mengaktifkan jalur spesifik melalui
reseptornya (Chang, R. J., 2007).
Gejala yang paling terlihat pada PCOS adalah
hirsutisme ditandai dengan peningkatan pertumbuhan rambut terjadi terutama pada
wajah, dagu dan leher, serta bagian bawah perut dengan pola seperti laki-laki.
Tingkat pertumbuhan rambut menunjukkan neoplastic dari produksi androgen. Pada
PCOS, jumlah hirsutisme berkorelasi dengan konsentrasi serum androgen. Selain
itu munculnya jerawat berlebih sebagai akibat hiperandrogenemia juga merupakan
tanda hirsutisme.Kelebihan androgen berasal dari pengaruh sel teka pada wanita
PCOS. CP17A (sitokrom P450 17A1) adalah enzim yang mengkatalisis dua kegiatan
berbeda dari 17 α-hidrosilase dan 17,20-lyase yang merupakan kunci pada
produksi androgen ovarium. Secara in vitro, sel teka PCOS meningkatkan
aktivitas 17 α-hidrosilase, 17,20-lyase, dan 3β-hidroksisteroid dehydrogenase
dibandingkan pada sel teka wanita normal, sehingga peningkatan aktivitas enzim
akan menyebabkan produksi androgen lebih besar (Chang, R. J., 2007).
Terjadinya hyperinsulinemia
pada PCOS memperburuk terjadinya folikel atresia yang menyebabkan hiperandrogen
oleh stimulasi 17α hidroksilase pada sel teka. Hipersulinemia juga menguatkan
stimulasi LH dan IGF-1 (Insulin-like growth factor 1) untuk menstimulasi
produksi androgen yang menyebabkan kadar testosterone bebas dalam darah
meningkat melalui penurunan SBHG di hati dan peningkatan bioaktivitas IGF-1
melalui penekatan produksi pengikatan IGF (Goodarzi, M. O., et. al., 2011).
C.
PENATALAKSANAAN
TERAPI
Manajemen terapi wanita dengan PCOS
tergantung pada gejala, terkait dengan disfungsi infertilitas, gangguan haid
atau gejala lain yang berhubungan dengan androgen.
1.
Menurunkan
Berat Badan
Kehilangan
berat badan akan meningkatkan profil endokrin dan kemungkinan ovulasi serta
kehamilan. Normalisasi siklus menstruasi dan ovulasi terjadi dengan sederhana
dengan menurunkan berat badan 5-13% dari berat badan awal. Turunnya berat badan
tidak hanya meningkatkan sirkulasi androgen glukosa tetapi kehamilan pada
wanita PCOS walaupun diet diperuntukkan untuk yang obesitas dengan BMI >
25-27 kg/m2 . Treatment untuk obesitas termasuk modifikasi gaya
hidup (diet dan olahraga).
2.
Induksi
Ovulasi
Pada PCOS, anovulasi berkaitan
dengan konsentrasi FSH yang rendah dan pertumbuhan folikel antral yang
terhambat pada tahapakhir maturase. Peningkatan LH, androgen, dan insulin
secara individu memainkan peranan langsung dan tidak langsung, menambah
steroidogenesis tetapi pertumbuhan folikel terganggu. Untuk kebanyakan wanita,
infertilitas menjadi suatu masalah sehingga diperlukan pengobatan untuk
menginduksi ovulasi.
a. CC (Clomifen Citrat)
CC adalah
antagonis reseptor estrogen yang mengganggu umpan balik negative dari jalur
puls estrogen, mengakibatkan peningkatan ketersediaan FSH. Peningkatan FSH
menyebabkan pertumbuhan folikel, diikuti dengan lonjakan LH dan ovulasi. CC
diindikasikan pada pasien dengan PCOS dan anovulasi dengan tingkat FSH normal,
tetapi memiliki keterbatasan dengan pasien BMI>30 dan usia lanjut.
CC diberikan dengan dosis 50-150 mg
selama 5 hari, dimulai pada hari ke 3 atau ke 5 dari siklus induksi progestin.
CC menghasilkan ovulasi pada 75%-80% pasien PCOS. CC adalah terapi perawatan
lini pertama untuk induksi pasien PCOS, ekonomis, mudah, sedikit efek samping,
dan membutuhkan sedikit monitoring. Tamoxifen dengan mekanisme serupa dengan CC
bisa menginduksi ovulasi tetapi tidak memiliki efek antiestrogenik di
endometrium dan Rahim, bisa sebagai alternative jika terjadi kegagalan dan resistensi CC (Hamburg, R. 2005, Legro R.
S. et. al., 2007, Messinis I. E., 2005 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).
b. Metformin
Metformin adalah
biguanida yang digunakan untuk antihiperglikemik untuk diabetes mellitus tipe
2. Penggunaan metformin berhubungan dengan peningkatan siklus menstruasi, meningkatkan ovulasi, dan
pengurangan kadar androgen dalam darah. Penggunaan metformin juga bermanfaat
dalam metabolic yaitu menurunkan berat badan. Mekanisme kerja metformin yaitu,
menghambat produksi glukosa di hepar, juga menurunkan penyerapan glukosa di
usus serta meningkatkan sensitivitas insulin di perifer. Metformin pada pasien
PCOS meningkatkan induksi ovulasi dengan mengurangi dan mengubah efek insulin
pada biosintesis androgen ovarium, proliferasi sel teka, dan pertumbuhan
endometrium. Selain itu, berpotensi menghambat gluconeogenesis ovarium dan
dengan demikian mengurangi produksi androgen ovarium (Sam. S dan A. Dunaif,
2003, Grundy, S. M., 2002 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).
Penggunaan metformin dimulai dengan
500 mg sehari dengan makanan untuk meningkatkan toleransi pasien. Setelah 1
minggu, dosis ditingkatkan menjadi 1000 mg per hari, kemudian dilanjutkan 1500
mg di minggu selanjutnya. Target dosis adalah 1500-2550 mg per hari (500 atau
850 mg, 3 kali sehari). Efek samping yang biasanya terjadi adalah mual dan
diare. (Glueck, C. J.et. al., 2002 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011)..
Kombinasi metformin dengan
CCmeningkatkan ovulasi secara signifikan dibandingkan dengan monoterapi. Pada
pasien dengan resisten CC, metformin tidak memberikan manfaat dibandingkan
placebo pada ovulasi dan kehamilan, tetapi kombinasi CC dan metformin
signifikan meningkatkan ovulasi dan kecepatan hamil dibanding penggunaan CC
saja (Moll, E., et. al., 2006 dan Creanga, A. A., et. al., 2008 dalam Badawy,
A. dan A. Elnasar., 2011).
Obat lain dengan kategori yang sama,
rosiglitazone (8mg/hari), menunjukkan peningkatan ovulasi pada pasien PCOS
dengan kombinasi CC dengan BMI 35.5-38.5 kg/m2 . Pioglitazone juga
memiliki efektifitas yang sama, tetapi keduanya termasuk ke dalam kategor C
untuk kehamilan. Jika digunakan, maka harus segera dihentikan setelah diketahui
hamil (Tang, T et. al., 2010 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).
c. Inhibitor aromatase
Inhibitor aromatase selektif seperti
anastrazole dan letrozole adalah agen yang menginduksi ovulasi bersifat
reversible dan highly potent. Saat ini, letrozole dipelajari jauh lebih luas
daripada anastrazole. Letrozole menghambat produksi estrogen di hipotalamus,
menyebabkan peningkatan pengeluaran GnRH dan FSH. Inhibitor aromatase
menginduksi ovulasi karena aksi selektif memblokir bagian perifer androgen menjadi estrogen sehingga kadar
estrogen diturunkan, menghasilan umpan balik positif di hipofisis, meningkatkan
FSH, dan mengoptimalkan ovulasi. Keuntungan letrozole adalah menghindari efek
antiestrogenik perifer di endometrium pada saat pertumbuhan folikel (Carrol, N
dan J. R Palmer, 2001 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).
Letrozole digunakan dengan dosis
2.5-5 mg selama 5 hari jika nilai FSH normal dan hCG (guman chorionic
gonadotropin) 10.000 IU ketika diameter folikel mencapai 18 mm untuk program
ovulasi (Badawy, A, et. al., 2008 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).
d. Glucocorticoid
Glucocorticoid
seperti prednisone dan dexametason telah digunakan untuk menginduksi ovulasi.
Pasien PCOS dengan adrenal androgen yang tinggi, dosis rendah (0.25-0.5 mg)
pada saat waktu tidur dapat digunakan. Studi menunjukkan dari 230 wanita dengan
PCOS yang gagal ovulasi dengan 200 mg CC selama 5 hari, penambahan
dexamethasone 2 mg dari hari ke 5-14 meningkatkan kecepatan ovulasi dan
kehamilan. Penggunaan jangka panjang harus dipertimbangkan mengingat efek
samping dan sensitivitas insulin (Parsanezad, M. E, et. al., 2002 dalam Badawy,
A. dan A. Elnasar., 2011).
e. Gonadotropin
Terapi lini kedua yang memungkinkan
setelah resistensi CC pada wanita PCOS adalah gonadotropin exogen dengan
mekanisme aksi menginduksi ovulasi, memperbaiki pertumbuhan optimal folikel
melalui control penggunaan FSH dan mencapai folikel yang mampu untuk dibuahi.
Kelemahan gonadotropin adalah bisa memprovokasi beberapa perkembangan folikel,
sehingga meningkatkan resiko syndrome hiperstimulasi ovarium (OHSS) dan
kehamilan kembar.
Beberapa protocol treatmen telah
dianjurkan seperti step-up, low dose-step
up, dan step-down regimen. Direkomendasikan menggunakan protocol
gonadotropin dosis rendah. Pendekatan step-up yang direkomendasikan dimulai
dengan minimum dosis (37.5-50 IU/hari) yang akan ditingkatkan berdasarkan
respon berkurangnya foliker. Control dengan USG, dan regimen dimodifikasi
setelah 1 minggu tidak ada pertumbuhan folikel yang meningkat 50%. HCG
digunakan untuk sebagai pengganti untuk lonjakan LH, mengarah ke pematangan
oosit, pecahnya folikel, dan pembentukan corpus luteum. Regimen step down dimulai
dengan maksimal dosis yang direkomendasikan, yang berkurang seiring dengan
respon folikel tercapai. Dosis dikurangi 50% setiap kali regimen diubah. Studi
terbaru menunjukkan bahwa penggunaan step-down lebih aman (Christin, M, et.
al., 2003 dan Filicori, M, et. al., 2001 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar.,
2011).
f. Laparoscopic Ovarian diathermy
(LOD)
Terapi ini digunakan untuk wanita
yang resistensi CC dan tidak bisa diberikan gonadotropin, bedah laparoskopi
ovay bilateral dengan electrocautery
monopolar (multiple controlled perforation of the ovary) atau laser adalah alternative yang bisa
digunakan, dan keduanyamemberikan hasil yang sama. Dalam database Cochrane
tidak ada bukti perbedaan angka kelahiran hidup dan angka kaguguran pada wanita
dengan PCOS resistensi CC yang menjalani LOD dibanding pengobatan gonadotropin.
Terappi ini efektif untuk pasien dengan LH yang tinggi, danpengurangan LH dan
androgen signifikan telah dibuktikan dalam pembedahan LOD. LOD mengembalikan
keteraturan siklus menstruasi di 63%-85% wanita. Treatment dengan metformin
sama berkhasiat memperbaiki klinis, endokrin, dankelainan lain berhubungan
dengan PCOS (Palomba, S. et. al., 2007, Al-Fadhil, R., 2004 dan Palomba, S et.
al., 2005 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).
3.
Treatment
untuk disfungsi mentsrual
Anovulasi kronik dikaitkan dengan
peningkatan resiko hyperplasia endometrium dan karsinoma. Pasien PCOS yang
tidak mengalami siklus menstruasi selama 1 tahun atau lebih disarankan untuk
mempertimbangkan biopsy endometrium. Penggunaan USG untuk menentukan ketebalan
endometrium, bisa digunakan untuk memutuskan dilakukannya biopsy endometrium.
Proliferasi endometrium dapat dihambat dengan pemberian baik progestin siklin
atau kontrasepsi oral dengan kombinasi estrogen dan progestin (Balen, A, 2001
dan Nader, S, 2008 dalam Badawy, A. dan A. Elnasar., 2011).
4.
Treatment
gejala berkaitan dengan androgen
a. Kontrasepsi oral
Untuk
wanita yang tidak menginginkan kehamilan, dapat diobati dengan pil kontrasepsi
oral yang akan mengurangi hiperandrogenisme dengan mempromosikan umpan balik
negative langsung pada sekresi LH yang mengakibatkan sintesis andogen ovarium
menurun. Selanjutnya, kontrasepsi oral akan meningkatkan produsi SHBG (sex
hormone-binding globulin) sehingga kadar androgen bebas menurun. Mekanisme lain
termasuk pengurangan sekresi androgen adrenal dan penghambatan konversi
testosterone menjadi dihydrotestosterone di perifer dan mengikat
dihidrotestosteron pada reseptor androgen (Azziz R, 2010 dalam Badawy, A. dan
A. Elnasar., 2011). Kombinasi terapi progestin dan estrogen (Kombinasi dalam
kontrasepsi oral) adalah pengobatan
dominan menyebabkan hirsutisme dan
jerawat pada PCOS, terapi dilakukan 6-9 bulan sebelum terjadi peningkatan
hirsutism.
b. Antiandrogen
Antiandrogen seperti spironolakron,
CPA (cyproterone acetate), atau flutamide berkerja dengan penghambatan
kompetitif reseptor androgen binding atau dengan menurunkan produksi androgen.
Spironolakton merupakan antagonis
aldosterone yang dose-dependent berkompetisi dengan reseptor androgen dan dapat
menghambat aktivitas 5 α reductase.
Spironolakton memiliki efek antiandrogenik moderat bila diberikan dalam dosis
besar (100-200 mg setiap hari), dibuktikan pada efek hirsutisme yang diinduksi
oleh kontrasepsi oral. Meskipun ditoleransi dengan baik, kadang-kadang
menyebabkan kelelahan, hipotensi postural, dan pusing jika diberikan dalam
dosis tiggi, sehingga menyebabkan ketidakteraturan dalam menstruasi. Efek
feminism pada janin laki-laki bisa disebabkan oleh monoterapi wanita PCOS.
CPA adalah antiandrogen
progestasional. CPA menghambat secara kompetitif pengikatan testosterone dan
lebih potent untuk konversi 5α dihydrotestosterone ke reseptor androgen.
Digunakan dengan dosis tinggi 50-100 mg dengan regimen sekuensial pada 10 hari
siklus.
Flutamide adalah non steroid,
antiandrogen seletif tanpa efek progestogenik. Obat ini dipasarkan untuk
mengobati kanker prostat dan sangat efektif dalam mengobati hirsutisme. Dosis
500 mg sama efektif dengan penggunaan spironolakton 100 mg pada wanita
hirsutisme idiopatik, dengan dosis efektif minimal 125 mg.
c. Glukokortikoid
Wanita
dengan PCOS mengalami peningkatan androgen adrenal, dengan kontribusi disfungsi
ovulasi. Glukokortikoid menekan sekresi androgen adrenal dan telah digunakan
pada pasien dengan hiperandrogenisme adrenal. Penggunaannya terutama pada
pasien dengan hyperplasia adrenal kongenital klasi, dan dapat membantu mencegah
dan memperbaiki hirsutisme dan siklus ovulasi.
d. Topical treatment
Eflornithine hidroklorida, adalah
inhibitor enzim ornithine dekarboksilase pada kulit manusi, digunakan untuk
pasien hirsutisme secara topical selama 6-8 minggu (Badawy, A. dan A. Elnasar.,
2011).
DAFTAR PUSTAKA
Badawy, A dan A.
Elnashar, 2011. Treatment options for polycystic ovary syndrome (Review). International Journal of Women’s Health
(3) : 25-35.
Chang, R. J., 2007. The
reproductive phenotype in polycystic ovary syndrome. Nature Clinical Practice
Endocrinology & Metabolism Volume 3 (10).
Goodarzi, M. O, et.
al., 2011. Polycystic ovary syndrome : etiology, pathogenesis, and diagnosis
(Review). Natural Review Endocrinol
(7) : 219-231.
Norwitz, E. R dan
Schorge, J. O. 2013. Obstetric and
Gynecology at a Glance Ed 4th. John Wiley & Sons Ltd : UK.
Pasquali, R. et. al.,
2011. PCOS Forum : Research in polycystic ovary syndrome today and tomorrow
(Research Overview). Clinical
Endocrinology (74) : 424-433.
Vander, 2006.
Reproduction dalam Vander’s Human
Physiology. The Mechanism of Body Function Edisi 10. Ch. 17. McGraw Hill
Publication.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar