Jumat, 10 Februari 2017

Penyakit Ginjal Kronis, Anemia, dan Infeksi Saluran Kemih

1.1  Chronic Kidney Disease
1.1.1        Batasan Klinik
Chronic Kidney Disease (CKD) atau biasa juga disebut Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu kondisi dimana terjadi perubahan penurunan fungsi ginjal secara progresif yang terjadi selama beberapa bulan atau tahun. Ditandai dengan perubahan struktur normal ginjal secara berangsur-angsur dan terjadinya fibrosis (Joy. M.,S, 2008).
1.1.2        Klasifikasi
Berdasarkan derajat penurunan GFR, CKD dibagi menjadi 5 stadium (Tabel 1)
Tabel 1.1 Nilai GFR Berdasarkan Tingkatan PGK (Koda kimble, 2009)
Tahap
Deskripsi
GFR
(ml/menit/1,73 m2)
1
Kerusakan ginjal dengan
GFR ↑ atau normal
≥ 90
2
Kerusakan ginjal dengan
↓ GFR lemah
60-89
3
Kerusakan ginjal dengan
↓ GFR sedang
30-59
4
Kerusakan ginjal dengan
↓ GFR berat
15-29
5
Gagal Ginjal Tahap
Terminal
< 15 (atau dialisis)



1.1.3 Etiologi
  1. Faktor susceptible
Individu dengan faktor susceptible mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya penyakit ginjal, meskipun faktor tersebut tidak terbukti secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor tersebut antara lain : pertambahan usia, penurunan massa ginjal dan berat lahir rendah, ras/etnik, riwayat keluarga, pendapatan dan pendidikan yang rendah, inflamasi sistemik dan dislipidemia.
  1. Faktor inisisasi
Merupakan faktor yang secara langsung dapat menyebabkan kerusakan ginjal, meliputi : diabetes melitus, hipertensi, penyakit autoimun, Polycystic Kidney Disease, toksisitas obat, infeksi saluran kemih dan obstruksi saluran kemih bawah.
  1. Faktor progresif                     
Merupakan faktor yang memperparah terjadinya kerusakan ginjal yang dikaitkan dengan penurunan yang cepat terhadap kerusakan ginjal akibat faktor inisiasi, yang meliputi : diabetes melitus, peningkatan tekanan darah, merokok, dislipedimia dan proteinuria (Joy et al, 2008).
1.1.4 Patofisiologi
Berbagai faktor etiologi menyebabkan kerusakan ginjal dengan cara yang beragam. Nefropati yang progresif akan mengakibatkan kerusakan parenkim ginjal yang ireversibel, faktor utama yang mempengaruhi seperti massa nefron, glomerular capillary hipertensi dan proteinuria. Adanya faktor risiko inisiasi mengakibatkan kehilangan massa nefron. Nefron yang masih tersisa mengalami hipertrofi sebagai kompensasi kehilangan fungsi renal trersebut. Pada tahap lebih lanjut, hipertrofi ini menjadi maladaptive dan berkembang ke arah hipertensi glomerular, yang kemungkinan dimediasi oleh angiotensin II. Angiotensin II merupakan vasokontriktor poten yang memiliki efek lebih kuat terhadap arteriol eferen, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah dalam kapiler glomerulus. Terjadinya hipertensi intraglomerular umumnya memiliki korelasi dengan hipertensi arteri sistemik. Angiotensin II juga memperantarai progresivitas penyakit ginjal melalui efek nonhemodinamik Percobaan pada hewan membuktikan bahwa tingginya tekanan intraglomerular berdampak pada fungsi permeabilitas glomerulus sehingga terjadi albuminuria dan proteinuria (Joy et al., 2008).



 












Gambar 1.1 Mekanisme perjalanan penyakit ginjal (Joy et al., 2008).

Proteinuria sendiri juga meningkatkan progresivitas hilangnya ginjal akibat kerusakan seluler. Protein yang difiltrasi seperti albumin, transferin, faktor komplemen, imunoglobulin, sitokin, dan angiotensin II toksik terhadap sel tubular ginjal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa adanya protein-protein tersebut di tubulus ginjal dapat mengaktivasi sel tubular yang menyebabkan produksi upregulated dari inflamatori dan sitokin vasoaktif, seperti endotelin, monocyte chemoattractant protein (MCP-1), dan RANTES (regulated upon activation, normal T-cell expressed and secreted). Proteinuria juga terlibat dalam aktivasi komponen komplemen di membran apikal dari tubulus proksimal. Aktivasi komplemen intratubular kemungkinan merupakan kunci mekanisme kerusakan dalam progresivitas proteinurik nefropati, yang pada akhirnya melukai interstitium, meningkatkan hilangnya struktur ginjal, dan penurunan GFR (Joy et al., 2008).

1.1.5 Penatalaksanaan Terapi
Tujuan memperlambat progresivitas CKD
  1. Pengendalian gula darah
  2. Pengendalian tekanan darah
  3. Pengendalian aktivitas sistem RAA
Penatalaksanaan untuk pasien CKD meliputi beberapa hal, yaitu:
1.             Pengobatan penyakit dasar
Termasuk disini adalah pengendalian tekanan darah, regulasi gula darah pada pasien DM, koreksi jika ada obstruksi saluran kencing, serta pengobatan infeksi saluran kemih (ISK).
2.             Pengendalian keseimbangan air dan garam
Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urine. Yaitu produksi urine 24 jam ditambah 500 ml. Asupan garam tergantung evaluasi elektrolit, umumnya dibatasi 40-120 mEq (920-2760 mg). Diet normal mengandung rata-rata 150 mEq.
3.             Diet rendah protein dan tinggi kalori
Asupan protein dibatasi 0,6-0,8 gram/kgBB/hari. Rata-rata kebutuhan protein sehari pada penderita GGK adalah 20-40 gram. Kebutuhan kalori minimal 35 kcal/kgBB/hari. Diet rendah protein tinggi kalori akan memperbaiki keluhan mual, menurunkan BUN dan akan memperbaiki gejala. Selain itu juga akan menghambat progresivitas faal ginjal.
4.             Pengelolaan hipertensi
Pada penderita CKD pembatasan cairan mutlak dilakukan. target tekanan darah 125/75 mmHg diperlukan untuk menghambat laju progresivitas penurunan faal ginjal. ACEI dan ARB diharapkan akan menghambat progresivitas CKD, tetapi harus tetap dilakukan pemantauan faal ginjal secara rutin. Jika dicurigai terjadi stenosis arteria renal, ACEI merupakan kontra indikasi.
5.             Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit asam-basa
Gangguan keseimbangan elektrolit yang sering terjadi pada pasien CKD adalah hiperkalemia dan asidosis. Untuk mencegah terjadinya hiperkalemia dapat dilakukan dengan cara diet rendah kalium : menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) dan menghindari pemakaian diuretika K-sparring
Pengobatan hiperkalemia tergantung derajat kegawatannya:
-    Ca-glukonas intravena (10-20 ml 10% Ca gluconate)
-          Glukosa intravena (25-50 ml glukosa 50%)
-          Insulin-dextrose i.v dengan dosis 2-4 unit, aktrapid tiap 10 gram glukosa
-          Natrium bikarbonat i.v (25-100 ml 8,4% NaHCO3)
-          Meningkatkan ekskresi kalium :
-          Furosemid
-          K-exchange resin
-          Dialisis
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, ­air-hunger dan drowsiness. Pengobatan NaHCO3 i.v hanya diberikan pada keadaan asidosis berat, jika tidak gawat diberikan per-oral.
6.             Pencegahan dan pengobatan Renal Osteo Distrofi
-          Pengendalian hiperphosphatemia
Kadar P serum harus dipertahankan kurang dari 6 mg/dl. Terapinya yaitu alumunium hidroksida 300-1800 mg diberikan bersama makan, tetapi sekarang mulai ditinggalkan karena efek samping terjadinya intoksikasi alumunium dan konstipasi. Sebagai pilihan lain dapat diberikan kalsium karbonat 500-3000 mg bersama makan. Makanan yang harus dihindari misalnya susu, keju, yoghurt, es krim, ikan dan kacang-kacangan.
-          Suplemen vitamin D3 aktif
1,25 dihidroksi vitamin D3 (kalsitriol) hanya diberikan jika kadar P normal. Batasan pemberian jika Ca x P < 65. Dosis yang diberikan adalah 0,35 mcg/hari.
7.             Pengobatan gejala uremi spesifik
Semua keluhan dan gejala dapat diobati secara simtomatik.
-          Diet rendah protein. GFR 5-1-% : 40-50 g/hari, GFR 4-5% : 20-30 g/hari. Kalori harus > 2500K/hari.
-          Asam amino esensial.
-          Gatal ( pruritus ) : TKRP, radiasi UV, difenhidramin, paratiroidektomi, transplantasi ginjal.
-          Keluhan GI seperti anoreksia, mual, muntah, kadang-kadang membaik dengan diit TKRP, memperbaiki asidosis dengan  Na-HCO3, obat anti muntah.
-          Keluhan neuromuskular seperti lelah parestesi, kram, diberi vitamin B1, B6, B12 dosis tinggi, diazepam.
-          Anemia, dengan eritropoetin, preparat Fe, asam folat, nandrolon dekanoat, hormon anabolik untuk stimulasi eritropoeitin.
-          Osteodistrofi renal, dengan koreksi asidosis, obat pengikat fosfat, suplementasi kalsium, vitamin D3.
8.             Deteksi dan pengobatan infeksi
Pasien CKD merupakan pasien dengan respon imun yang rendah, sehingga kemungkinan infeksi harus selalu dipertimbangkan. Gejala febris terkadang tidak muncul karena keadaan respon imun yang rendah.
9.             Penyesuaian pemberian obat
Beberapa obat memerlukan penyesuaian dosis karena ekskresi metabolitnya melalui ginjal. Penggunaan obat nefrotoksik misalnya aminoglikosida, co-trimoxazole, amphotericin sebaiknya dihindari dan hanya diberikan pada keadaan khusus. NSAID juga menurunkan fungsi ginjal. Tetrasiklin meningkatkan katabolisme protein. Nitroflurantoin juga harus dihindari dan penggunaan diuretik K-sparing harus pula berhati-hati karena menyebabkan hiperkalemia.
10.         Deteksi dan pengobatan komplikasi
Beberapa komplikasi yang merupakan indikasi untuk segera dimulainya hemodialisis (HD):
-          Ensefalopati uremik
-          Perikarditis atau pleuritis
-          Neuropati perifer progresif
-          Osteo Distrofi Renal progresif
-          Hiperkalemia yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan medikamentosa
-          Sindroma overload
-          Infeksi yang mengancam jiwa
-          Keadaan sosial
11.         Persiapan dialisis dan transplantasi
Dianjurkan pembuatan akses vaskuler jika klirens kreatinin telah dibawah 20 ml/menit sebelum klirens kreatinin dibawah 15 ml/menit.
(Pranawa, dkk., 2007)

1.2              Anemia
1.2.1        Batasan Klinik
Anemia adalah sekelompok penyakit yang ditandai oleh penurunan hemoglobin (Hb) atau sel darah merah (RBC) sehingga menghasilkan penurunan kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah (Ineck et al, 2008).
1.2.2        Etiologi
Kondisi komorbid dapat berisiko besar meningkatkan anemia. Anemia khususnya terjadi pada pasien kanker yang mendapat kemoterapi dan pasien dengan CKD. Insiden anemia pada pasien kanker bervariasi tergantung pada jenis tumor dan tingkat myelosuppression dari regimen kemoterapi. Anemia sangat umum dijumpai pada pasien CKD. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa 60% pasien CKD mengalami anemia (Li dan Hoffman, 2008).
Penyebab anemia dapat dibedakan menjadi tiga kategori utama yaitu penurunan produksi RBC, peningkatan perombakan RBC, dan hilangnya darah. Terapi obat terutama untuk mengatasi anemia yang disebabkan oleh penurunan produksi eritrosit. Penyebab penurunan produksi eritrosit dapat multifaktorial. Defisiensi nutrisi (seperti besi, vitamin B12, dan asam folat) adalah penyebab umum yang mudah diterapi. Pasien kanker dan CKD berisiko mengalami hipoproduktif anemia. Pasien dengan penyakit yang berhubungan dengan sistem imun (seperti rheumatoid arthritis dan systemic lupus erythematosus) menderita anemia akibat komplikasi dari penyakitnya (Li dan Hoffman, 2008).
1.2.3    Patofisiologi
Eritropoiesis
Eritropoiesis merupakan proses yang dimulai dengan sel batang pluripoten dalam sumsum tulang dan langsung berdiferensiasi menjadi erythroid colony-forming unit (CFU-E). Perkembangan dari sel-sel tersebut tergantung pada stimulasi faktor pertumbuhan yang tepat, terutama eritropoietin. Sitokin lainnya yaitu granulocyte-monocyte colony stimulating factor (GM-CSF) dan interleukin-3 (IL-3). Selanjutnya, CFU-E berdiferensiasi menjadi retikulosit dan melintasi sumsum tulang menjadi darah perifer. Akhirnya, retikulosit matang berubah menjadi eritrosit setelah satu sampai dua hari dalam aliran darah. Sepanjang proses ini, sel secara bertahap mengumpulkan hemoglobin lebih banyak dan kehilangan intinya (Li dan Hoffman, 2008).
Penurunan produksi atau respon eritropoietin
Pasien CKD mengalami penurunan produksi eritropoietin karena eritropoietin terutama diproduksi di ginjal. Akhirnya, terjadi ketumpulan produksi eritropoietin atau menurunnya respon terhadap produksi eritropoietin pada pasien anemia dengan penyakit kronik. Anemia pada penyakit kronik juga mempengaruhi homeostasis besi, menyebabkan pengambilan besi dari cadangan dan penurunan jumlah besi (Li dan Hoffman, 2008).
Stimulasi eritropoiesis
            Sebesar 90% hormon EPO dihasilkan oleh ginjal yang mengawali dan menstimulasi produksi RBC. Eritropoiesis diatur oleh feedback loop. Mekanisme aksi utama dari EPO adalah mencegah apoptosis atau mengatur kematian sel dari sel prekursor eritroid serta membiarkan sel berproliferasi dan maturasi. Penurunan kadar oksigen di jaringan memberi tanda pada ginjal agar meningkatkan produksi dan melepas EPO ke plasma sehingga terjadi (a) stimulasi sel batang yang berdiferensiasi menjadi proeritroblas (b) peningkatan laju mitosis (c) peningkatan pelepasan retikulosit dari sumsum (d) menginduksi pembentukan Hb. Pada kondisi di bawah normal, massa RBC disimpan pada tingkat yang hampir konstan oleh EPO. Percepatan sintesis Hb membuat kadar Hb kritis segera tercapai sehingga RBC lebih cepat matang. Mekanisme feedback menghentikan proses sintesis asam nukleat RBC, menyebabkan pelepasan retikulosit yang lebih awal. Adanya sejumlah besar retikulosit di sirkulasi perifer (retikulositosis) adalah indikasi peningkatan produksi RBC (Ineck et al, 2008).
1.2.4        Penatalaksaan Terapi
a.      Terapi Nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi untuk anemia pada CKD adalah dengan menjaga asupan besi yang cukup yaitu sekitar 1-2 mg per hari dan terutama diserap di usus dua belas jari. Namun, asupan besi oral saja tidak cukup untuk meningkatkan kebutuhan besi pada CKD berat sehingga harus mulai diterapi dengan eritropoietik (Hudson, 2008).
  1. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi untuk anemia pada CKD meliputi terapi kronik dengan ESA (erythropoietic-stimulating agent) untuk koreksi defisiensi eritropoietin, suplemen besi untuk koreksi dan mencegah defisiensi besi akibat pendarahan yang terus-menerus, serta peningkatan kebutuhan besi akibat permulaan terapi eritropoietik. Terapi besi adalah terapi lini pertama untuk anemia pada CKD jika didiagnosis defisiensi besi dan pada beberapa pasien CKD target Hb dapat tercapai meski tanpa terapi ESA. Pemberian bersama besi dan ESA seringkali diperlukan untuk menstimulasi eritropoiesis dan mencegah anemia mikrositik yang terjadi akibat defisiensi besi (Hudson, 2008).
1.3      Infeksi Saluran Kemih (ISK)
1.3.1        Definisi
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah keradangan bakterial saluran kemih mulai dari korteks renalis sampai meatus uretra disertai adanya kolonisasi mikroba di urin (Pranawa, 2007).


1.3.2        Etiologi
Bakteri penyebab ISK biasanya berasal dari flora usus. Penyebab ISK uncomplicated yang paling sering adalah Escherichia coli. Organisme penyebab ISK uncomplicated yang lain yaitu Staphylococcus saprophyticus (5% to 15%), Klebsiella pneumoniae, Proteus sp., Pseudomonas aeruginosa, dan Enterococcus spp. (5% to 10%). Oleh karena S. epidermidis sering diisolasi dari saluran kemih, maka di anggap sebagai kontaminan awal. Organisme yang diisolasi dari seseorang dengan infeksi complicated lebih bervariasi dan biasanya lebih resisten dari pada organisme pada infeksi uncomplicated. E. coli adalah patogen yang sering ditemukan, namun hanya terjadi pada kurang dari 50% infeksi. Organisme lain yang sering ditemukan yakni Proteus spp., K. pneumoniae, Enterobacter spp., P. aeruginosa, staphylococci, dan enterococci. Enterococci adalah organisme kedua yang paling sering diisolasi dari pasien yang dirawat di rumah sakit. Hal ini dimungkinkan karena penggunaan yang luas antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang tidak aktif melawan enterococci. E. faecalis dan S. faecium yang resisten vancomycin (VRE) mulai meluas pada pasien yang dirawat di rumah sakit dalam waktu yang lama atau dengan penyakit malignansi sebagai underlying disease-nya. Infeksi Staphylococus aureus dapat muncul dari saluran kemih, namun biasanya merupakan akibat dari bakteremia yang disebabkan abses metastasis padqa ginjal. Candida spp. Adalah penyebab yang sering pada pasien yang kritis dan menjalani kateterisasi. Kebanyakan ISK disebabkan oleh organisme tunggal, namun pada pasien dengan batu saluran kemih, menjalani kateterisasi, atau abses ginjal kronik dapat disebabkan oleh banyak organisme (Dipiro, 2011).
Faktor-faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya ISK:
1 Bendungan aliran urin
2 Refleks vesikoureter
3 Urin sisa dalam buli-buli
4 Gangguan metabolik : hiperkalsemi, hipokalemi, gammaglobulinemia.
5 Instrumentasi : kateter, dilatasi uretra, sistokopi
6 Kehamilan : faktor statis dan bendungan, pH urin yang tinggi sehingga mempermudah pertumbuhan kuman
7 Diabetes melitus
8 Hipertensi
9 Ginjal polikistik
10           Endapan obat intratubular

1.3.3   Patofisiologi
Pada umumnya organisme masuk ke dalam saluran kemih melalui 3 rute yang mungkin, yakni ascending, hematogenous (descending), dan jalur lympha. Saluran kemih normal pada umumnya resisten terhadap invasi bakteri dan mampu mengeliminasi mikroorganisme yang mencapai kandung kemih dengan cepat. Urin dalam kondisi normal mampu menghambat dan membunuh mikroorganisme. Faktor yang berperan dalam proses tersebut yakni pH yang rendah, osmolalitas yang tinggi, konsentrasi urea yang tinggi, dan konsentrasi assam organik yang tinggi. Pada pria pertumbuhan bakteri dihambat pula oleh adanya sekresi prostat. Keberadaan bakteri di dalam kandung kemih menstimulasi micturition yang disertai dengan meningkatnya diuresis dan pengosongan kandung kemih yang efisien. Pasien yang tidak dapat mengeluarkan urin dengan sempurna memiliki resiko yang besar mengalami ISK dan sering mengalami infeksi ulang. Faktor lain yang mungkin dapat mencegah perlekatan bakteri yaitu immunoglobulins (Ig) G dan A. Pasien dengan jumlah sekresi IgA urin menurun memiliki resiko yang meningkat untuk terjadinya ISK. Faktor pertahanan tubuh yang lain adalah kebaradaan Lactobacillus pada flora vagina dan jumlah estrogen sirkulasi(Dipiro, 2011).
Organisme patogen memiliki tingkat virulensi yang berbeda-beda yang menentukan perkembangan dan tingkat keparahan infeksi. Bakteri yang melekat pada epitelium saluran kemih dapat menyebabkan kolonisasi dan infeksi. Mekanisme adesi bakteri gram negatif khususnya E. coli terkait dengan fimbriae bakteri yang merupakan perpanjangan seperti rambut yang keras dari dinding sel. Fimbriae ini melekat dengan komponen glikolipid tertentu pada sel epitel. Fimbriae yang paling sering yaitu tipe 1, yang berikatan dengan residu manosa yang ada pada glikoprotein, yaitu Glycosaminoglycan dan protein Tamm-Horsfall yang siap menjebak organisme tersebut dan kemudian mengeluarkan dari kandung kemih. Fimbriae lain resisten manosa dan biasanya menybabkan pyelonefritis, seperti fimbriae P yang mengikat reseptor glikolipid spesifik pada sel uroepitelial. Bakteri ini resisten terhadap pembersihan oleh glycosaminoglycan dan mampu bermultiplikasi dan menginvasi jaringan, khususnya ginjal. Selain itu, PMNs begitu juga antibodi IgA mengandung reseptor untuk fimbriae tipe 1 dan memfasilitasi fagositosis, namun tidak memiliki reseptor untuk fimbriae tipe P. faktor virulensi lain meliputi produksi hemolisin dan aerobactin. Hemolisin adalah suatu protein sitotoksik yang diproduksi oleh bakteri yang menghancurkan sel-sel, termasuk eritrosit, PMNs, dan monosit. E. coli dan bakteri gram negatif lain memerlukan Fe untuk metabolisme aerob dan multiplikasi. Aerobactin memfasilitasi perlekatan dan uptake Fe oleh E. coli (Dipiro,2011).
1.3.4   Penatalaksanaan Terapi
Tujuan dari pengobatan ISK (Pranawa, 2007) :
1.      Menghilangkan kuman dan koloni kuman
2.      Menghilangkan gejala
3.      Mencegah dan mengobati sepsis
4.      Mencegah gejala sisa
Antimikroba yang ideal yaitu mampu ditoleransi dengan baik, dapat diabsorbsi, mencapai konsentrasi yang tinggi di dalam urin, dan mempunyai spektrum yang terbatas untuk patogen penyebab (Dipiro, 2011). Tabel dibawah ini mencantumkan pilihan terapi untuk ISK.