1.1
Chronic Kidney Disease
1.1.1
Batasan
Klinik
Chronic Kidney Disease (CKD) atau biasa juga disebut Penyakit Ginjal
Kronik (PGK) merupakan suatu kondisi dimana terjadi perubahan
penurunan fungsi ginjal secara progresif yang terjadi selama beberapa bulan
atau tahun. Ditandai dengan perubahan struktur normal ginjal secara
berangsur-angsur dan terjadinya fibrosis (Joy. M.,S, 2008).
1.1.2
Klasifikasi
Berdasarkan
derajat penurunan GFR, CKD dibagi menjadi 5 stadium (Tabel 1)
Tabel 1.1 Nilai GFR
Berdasarkan Tingkatan PGK (Koda kimble, 2009)
Tahap
|
Deskripsi
|
GFR
(ml/menit/1,73 m2)
|
1
|
Kerusakan ginjal dengan
GFR ↑ atau normal
|
≥ 90
|
2
|
Kerusakan ginjal dengan
↓ GFR lemah
|
60-89
|
3
|
Kerusakan ginjal dengan
↓ GFR sedang
|
30-59
|
4
|
Kerusakan ginjal dengan
↓ GFR berat
|
15-29
|
5
|
Gagal Ginjal Tahap
Terminal
|
< 15 (atau dialisis)
|
1.1.3
Etiologi
- Faktor susceptible
Individu dengan faktor susceptible mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya penyakit ginjal, meskipun
faktor tersebut tidak terbukti secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal.
Faktor tersebut antara lain : pertambahan usia, penurunan massa ginjal dan
berat lahir rendah, ras/etnik, riwayat keluarga, pendapatan dan pendidikan yang
rendah, inflamasi sistemik dan dislipidemia.
- Faktor inisisasi
Merupakan faktor yang secara langsung dapat menyebabkan
kerusakan ginjal, meliputi : diabetes melitus, hipertensi, penyakit autoimun,
Polycystic Kidney Disease, toksisitas obat, infeksi saluran kemih dan obstruksi
saluran kemih bawah.
- Faktor progresif
Merupakan faktor yang memperparah terjadinya kerusakan
ginjal yang dikaitkan dengan penurunan yang cepat terhadap kerusakan ginjal
akibat faktor inisiasi, yang meliputi : diabetes melitus, peningkatan tekanan darah, merokok,
dislipedimia dan proteinuria
(Joy et al, 2008).
1.1.4
Patofisiologi
Berbagai faktor etiologi menyebabkan kerusakan ginjal dengan
cara yang beragam. Nefropati yang progresif akan mengakibatkan kerusakan
parenkim ginjal yang ireversibel, faktor utama yang mempengaruhi seperti massa
nefron, glomerular capillary hipertensi dan proteinuria. Adanya faktor risiko
inisiasi mengakibatkan kehilangan massa nefron. Nefron yang masih tersisa
mengalami hipertrofi sebagai kompensasi kehilangan fungsi renal trersebut. Pada
tahap lebih lanjut, hipertrofi ini menjadi maladaptive dan berkembang ke arah
hipertensi glomerular, yang kemungkinan dimediasi oleh angiotensin II.
Angiotensin II merupakan vasokontriktor poten yang memiliki efek lebih kuat
terhadap arteriol eferen, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah dalam
kapiler glomerulus. Terjadinya hipertensi intraglomerular umumnya memiliki
korelasi dengan hipertensi arteri sistemik. Angiotensin II juga
memperantarai progresivitas penyakit ginjal melalui efek nonhemodinamik Percobaan pada hewan membuktikan bahwa tingginya
tekanan intraglomerular berdampak pada fungsi permeabilitas glomerulus sehingga
terjadi albuminuria dan proteinuria (Joy et
al., 2008).
Gambar
1.1 Mekanisme
perjalanan penyakit ginjal (Joy et al., 2008).
Proteinuria sendiri juga meningkatkan progresivitas
hilangnya ginjal akibat kerusakan seluler. Protein yang difiltrasi seperti
albumin, transferin, faktor komplemen, imunoglobulin, sitokin, dan angiotensin
II toksik terhadap sel tubular ginjal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
adanya protein-protein tersebut di tubulus ginjal dapat mengaktivasi sel
tubular yang menyebabkan produksi upregulated
dari inflamatori dan sitokin vasoaktif, seperti endotelin, monocyte chemoattractant protein (MCP-1), dan RANTES (regulated upon activation, normal T-cell
expressed and secreted). Proteinuria juga terlibat dalam aktivasi komponen
komplemen di membran apikal dari tubulus proksimal. Aktivasi komplemen
intratubular kemungkinan merupakan kunci mekanisme kerusakan dalam
progresivitas proteinurik nefropati, yang pada akhirnya melukai interstitium,
meningkatkan hilangnya struktur ginjal, dan penurunan GFR (Joy et al.,
2008).
1.1.5
Penatalaksanaan Terapi
Tujuan memperlambat progresivitas CKD
- Pengendalian gula
darah
- Pengendalian
tekanan darah
- Pengendalian
aktivitas sistem RAA
Penatalaksanaan
untuk pasien CKD meliputi beberapa hal, yaitu:
1.
Pengobatan
penyakit dasar
Termasuk
disini adalah pengendalian tekanan darah, regulasi gula darah pada pasien DM,
koreksi jika ada obstruksi saluran kencing, serta pengobatan infeksi saluran
kemih (ISK).
2.
Pengendalian
keseimbangan air dan garam
Pemberian
cairan disesuaikan dengan produksi urine. Yaitu produksi urine 24 jam ditambah
500 ml. Asupan garam tergantung evaluasi elektrolit, umumnya dibatasi 40-120
mEq (920-2760 mg). Diet normal mengandung rata-rata 150 mEq.
3.
Diet rendah
protein dan tinggi kalori
Asupan protein
dibatasi 0,6-0,8 gram/kgBB/hari. Rata-rata kebutuhan protein sehari pada
penderita GGK adalah 20-40 gram. Kebutuhan kalori minimal 35 kcal/kgBB/hari.
Diet rendah protein tinggi kalori akan memperbaiki keluhan mual, menurunkan BUN
dan akan memperbaiki gejala. Selain itu juga akan menghambat progresivitas faal
ginjal.
4.
Pengelolaan
hipertensi
Pada penderita
CKD pembatasan cairan mutlak dilakukan. target tekanan darah 125/75 mmHg
diperlukan untuk menghambat laju progresivitas penurunan faal ginjal. ACEI dan
ARB diharapkan akan menghambat progresivitas CKD, tetapi harus tetap dilakukan
pemantauan faal ginjal secara rutin. Jika dicurigai terjadi stenosis arteria
renal, ACEI merupakan kontra indikasi.
5.
Pengendalian
gangguan keseimbangan elektrolit asam-basa
Gangguan
keseimbangan elektrolit yang sering terjadi pada pasien CKD adalah hiperkalemia
dan asidosis. Untuk mencegah terjadinya hiperkalemia dapat dilakukan dengan
cara diet rendah kalium : menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) dan
menghindari pemakaian diuretika K-sparring
Pengobatan
hiperkalemia tergantung derajat kegawatannya:
- Ca-glukonas intravena (10-20 ml 10% Ca
gluconate)
-
Glukosa
intravena (25-50 ml glukosa 50%)
-
Insulin-dextrose
i.v dengan dosis 2-4 unit, aktrapid tiap 10 gram glukosa
-
Natrium
bikarbonat i.v (25-100 ml 8,4% NaHCO3)
-
Meningkatkan
ekskresi kalium :
-
Furosemid
-
K-exchange resin
-
Dialisis
Asidosis
menyebabkan keluhan mual, lemah, air-hunger
dan drowsiness. Pengobatan NaHCO3
i.v hanya diberikan pada keadaan asidosis berat, jika tidak gawat
diberikan per-oral.
6.
Pencegahan dan
pengobatan Renal Osteo Distrofi
-
Pengendalian
hiperphosphatemia
Kadar P serum
harus dipertahankan kurang dari 6 mg/dl. Terapinya yaitu alumunium hidroksida
300-1800 mg diberikan bersama makan, tetapi sekarang mulai ditinggalkan karena
efek samping terjadinya intoksikasi alumunium dan konstipasi. Sebagai pilihan
lain dapat diberikan kalsium karbonat 500-3000 mg bersama makan. Makanan yang
harus dihindari misalnya susu, keju, yoghurt, es krim, ikan dan
kacang-kacangan.
-
Suplemen
vitamin D3 aktif
1,25
dihidroksi vitamin D3 (kalsitriol) hanya diberikan jika kadar P normal. Batasan
pemberian jika Ca x P < 65. Dosis yang diberikan adalah 0,35 mcg/hari.
7.
Pengobatan
gejala uremi spesifik
Semua keluhan dan gejala dapat diobati secara simtomatik.
-
Diet rendah protein. GFR 5-1-% :
40-50 g/hari, GFR 4-5% : 20-30 g/hari. Kalori harus > 2500K/hari.
-
Asam amino esensial.
-
Gatal ( pruritus ) : TKRP, radiasi UV,
difenhidramin, paratiroidektomi, transplantasi ginjal.
-
Keluhan GI seperti anoreksia, mual, muntah,
kadang-kadang membaik dengan diit TKRP, memperbaiki asidosis dengan Na-HCO3, obat anti muntah.
-
Keluhan neuromuskular seperti lelah parestesi, kram,
diberi vitamin B1, B6, B12 dosis tinggi, diazepam.
-
Anemia, dengan eritropoetin, preparat Fe, asam folat, nandrolon dekanoat, hormon anabolik untuk
stimulasi eritropoeitin.
-
Osteodistrofi renal, dengan koreksi asidosis, obat
pengikat fosfat, suplementasi kalsium, vitamin D3.
8.
Deteksi dan
pengobatan infeksi
Pasien CKD
merupakan pasien dengan respon imun yang rendah, sehingga kemungkinan infeksi
harus selalu dipertimbangkan. Gejala febris terkadang tidak muncul karena
keadaan respon imun yang rendah.
9.
Penyesuaian
pemberian obat
Beberapa obat
memerlukan penyesuaian dosis karena ekskresi metabolitnya melalui ginjal.
Penggunaan obat nefrotoksik misalnya aminoglikosida, co-trimoxazole,
amphotericin sebaiknya dihindari dan hanya diberikan pada keadaan khusus. NSAID
juga menurunkan fungsi ginjal. Tetrasiklin meningkatkan katabolisme protein.
Nitroflurantoin juga harus dihindari dan penggunaan diuretik K-sparing harus
pula berhati-hati karena menyebabkan hiperkalemia.
10.
Deteksi dan
pengobatan komplikasi
Beberapa
komplikasi yang merupakan indikasi untuk segera dimulainya hemodialisis (HD):
-
Ensefalopati
uremik
-
Perikarditis
atau pleuritis
-
Neuropati
perifer progresif
-
Osteo Distrofi
Renal progresif
-
Hiperkalemia
yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan medikamentosa
-
Sindroma overload
-
Infeksi yang
mengancam jiwa
-
Keadaan sosial
11.
Persiapan
dialisis dan transplantasi
Dianjurkan
pembuatan akses vaskuler jika klirens kreatinin telah dibawah 20 ml/menit
sebelum klirens kreatinin dibawah 15 ml/menit.
(Pranawa,
dkk., 2007)
1.2
Anemia
1.2.1
Batasan
Klinik
Anemia adalah sekelompok penyakit yang ditandai oleh
penurunan hemoglobin (Hb) atau sel darah merah (RBC) sehingga menghasilkan
penurunan kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah (Ineck et al, 2008).
1.2.2
Etiologi
Kondisi
komorbid dapat berisiko besar meningkatkan anemia. Anemia khususnya terjadi pada pasien kanker yang
mendapat kemoterapi dan pasien dengan CKD. Insiden anemia pada pasien kanker
bervariasi tergantung pada jenis tumor dan tingkat myelosuppression dari regimen kemoterapi. Anemia sangat umum
dijumpai pada pasien CKD. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa 60% pasien CKD
mengalami anemia (Li dan Hoffman, 2008).
Penyebab anemia dapat dibedakan menjadi tiga kategori
utama yaitu penurunan produksi RBC, peningkatan perombakan RBC, dan hilangnya
darah. Terapi obat terutama untuk mengatasi anemia yang disebabkan oleh
penurunan produksi eritrosit. Penyebab penurunan produksi eritrosit dapat
multifaktorial. Defisiensi nutrisi (seperti besi, vitamin B12, dan
asam folat) adalah penyebab umum yang mudah diterapi. Pasien kanker dan CKD
berisiko mengalami hipoproduktif anemia. Pasien dengan penyakit yang
berhubungan dengan sistem imun (seperti rheumatoid
arthritis dan systemic lupus
erythematosus) menderita anemia akibat komplikasi dari penyakitnya (Li dan
Hoffman, 2008).
1.2.3 Patofisiologi
Eritropoiesis
Eritropoiesis
merupakan proses yang dimulai dengan sel batang pluripoten dalam sumsum tulang
dan langsung berdiferensiasi menjadi erythroid
colony-forming unit (CFU-E). Perkembangan dari sel-sel tersebut tergantung
pada stimulasi faktor pertumbuhan yang tepat, terutama eritropoietin. Sitokin
lainnya yaitu granulocyte-monocyte colony
stimulating factor (GM-CSF) dan interleukin-3 (IL-3). Selanjutnya, CFU-E
berdiferensiasi menjadi retikulosit dan melintasi sumsum tulang menjadi darah
perifer. Akhirnya, retikulosit matang berubah menjadi eritrosit setelah satu
sampai dua hari dalam aliran darah. Sepanjang proses ini, sel secara bertahap
mengumpulkan hemoglobin lebih banyak dan kehilangan intinya (Li dan Hoffman,
2008).
Penurunan
produksi atau respon eritropoietin
Pasien
CKD mengalami penurunan produksi eritropoietin karena eritropoietin terutama
diproduksi di ginjal. Akhirnya, terjadi ketumpulan produksi eritropoietin atau
menurunnya respon terhadap produksi eritropoietin pada pasien anemia dengan
penyakit kronik. Anemia pada penyakit kronik juga mempengaruhi homeostasis
besi, menyebabkan pengambilan besi dari cadangan dan penurunan jumlah besi (Li
dan Hoffman, 2008).
Stimulasi
eritropoiesis
Sebesar 90% hormon EPO dihasilkan
oleh ginjal yang mengawali dan menstimulasi produksi RBC. Eritropoiesis diatur
oleh feedback loop. Mekanisme aksi
utama dari EPO adalah mencegah apoptosis atau mengatur kematian sel dari sel
prekursor eritroid serta membiarkan sel berproliferasi dan maturasi. Penurunan
kadar oksigen di jaringan memberi tanda pada ginjal agar meningkatkan produksi
dan melepas EPO ke plasma sehingga terjadi (a) stimulasi sel batang yang
berdiferensiasi menjadi proeritroblas (b) peningkatan laju mitosis (c)
peningkatan pelepasan retikulosit dari sumsum (d) menginduksi pembentukan Hb. Pada kondisi di bawah normal, massa RBC disimpan pada
tingkat yang hampir konstan oleh EPO. Percepatan sintesis Hb membuat kadar Hb
kritis segera tercapai sehingga RBC lebih cepat matang. Mekanisme feedback menghentikan proses sintesis
asam nukleat RBC, menyebabkan pelepasan retikulosit yang lebih awal. Adanya
sejumlah besar retikulosit di sirkulasi perifer (retikulositosis) adalah
indikasi peningkatan produksi RBC (Ineck et al, 2008).
1.2.4
Penatalaksaan
Terapi
a. Terapi Nonfarmakologi
Terapi
nonfarmakologi untuk anemia pada CKD adalah dengan menjaga asupan besi yang
cukup yaitu sekitar 1-2 mg per hari dan terutama diserap di usus dua belas
jari. Namun, asupan besi oral saja tidak cukup untuk meningkatkan kebutuhan
besi pada CKD berat sehingga harus mulai diterapi dengan eritropoietik (Hudson, 2008).
- Terapi
Farmakologi
Terapi
farmakologi untuk anemia pada CKD meliputi terapi kronik dengan ESA (erythropoietic-stimulating agent) untuk
koreksi defisiensi eritropoietin, suplemen besi untuk koreksi dan mencegah
defisiensi besi akibat pendarahan yang terus-menerus, serta peningkatan
kebutuhan besi akibat permulaan terapi eritropoietik. Terapi besi adalah terapi
lini pertama untuk anemia pada CKD jika didiagnosis defisiensi besi dan pada
beberapa pasien CKD target Hb dapat tercapai meski tanpa terapi ESA. Pemberian
bersama besi dan ESA seringkali diperlukan untuk menstimulasi eritropoiesis dan
mencegah anemia mikrositik yang terjadi akibat defisiensi besi (Hudson, 2008).
1.3
Infeksi Saluran Kemih (ISK)
1.3.1
Definisi
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah
keradangan bakterial saluran kemih mulai dari korteks renalis sampai meatus
uretra disertai adanya kolonisasi mikroba di urin (Pranawa, 2007).
1.3.2
Etiologi
Bakteri penyebab ISK biasanya berasal
dari flora usus. Penyebab ISK uncomplicated
yang paling sering adalah Escherichia coli. Organisme penyebab ISK uncomplicated
yang lain yaitu Staphylococcus
saprophyticus (5% to 15%), Klebsiella pneumoniae, Proteus sp., Pseudomonas
aeruginosa, dan Enterococcus spp. (5% to 10%). Oleh karena S.
epidermidis sering diisolasi dari
saluran kemih, maka di anggap sebagai kontaminan awal. Organisme yang diisolasi
dari seseorang dengan infeksi complicated lebih bervariasi dan biasanya
lebih resisten dari pada organisme pada infeksi uncomplicated. E.
coli adalah patogen yang sering
ditemukan, namun hanya terjadi pada kurang dari 50% infeksi. Organisme
lain yang sering ditemukan yakni Proteus spp., K. pneumoniae,
Enterobacter spp., P. aeruginosa, staphylococci, dan enterococci.
Enterococci adalah organisme kedua yang paling sering diisolasi dari pasien
yang dirawat di rumah sakit. Hal ini dimungkinkan karena penggunaan yang luas
antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang tidak aktif melawan enterococci. E.
faecalis dan S. faecium yang resisten vancomycin (VRE) mulai meluas
pada pasien yang dirawat di rumah sakit dalam waktu yang lama atau dengan
penyakit malignansi sebagai underlying
disease-nya. Infeksi Staphylococus aureus dapat muncul dari saluran kemih, namun biasanya merupakan akibat dari
bakteremia yang disebabkan abses metastasis padqa ginjal. Candida spp.
Adalah penyebab yang sering pada pasien yang kritis dan menjalani kateterisasi.
Kebanyakan ISK disebabkan oleh organisme tunggal, namun pada pasien dengan batu
saluran kemih, menjalani kateterisasi, atau abses ginjal kronik dapat
disebabkan oleh banyak organisme (Dipiro, 2011).
Faktor-faktor predisposisi
yang mempermudah terjadinya ISK:
1 Bendungan aliran urin
2 Refleks vesikoureter
3 Urin sisa dalam buli-buli
4 Gangguan metabolik :
hiperkalsemi, hipokalemi, gammaglobulinemia.
5 Instrumentasi : kateter,
dilatasi uretra, sistokopi
6 Kehamilan : faktor statis
dan bendungan, pH urin yang tinggi sehingga mempermudah pertumbuhan kuman
7 Diabetes melitus
8 Hipertensi
9 Ginjal polikistik
10
Endapan obat intratubular
1.3.3 Patofisiologi
Pada umumnya organisme masuk
ke dalam saluran kemih melalui 3 rute yang mungkin, yakni ascending, hematogenous (descending), dan jalur lympha. Saluran kemih
normal pada umumnya resisten terhadap invasi bakteri dan mampu mengeliminasi
mikroorganisme yang mencapai kandung kemih dengan cepat. Urin dalam kondisi
normal mampu menghambat dan membunuh mikroorganisme. Faktor yang berperan dalam
proses tersebut yakni pH yang rendah, osmolalitas yang tinggi, konsentrasi urea
yang tinggi, dan konsentrasi assam organik yang tinggi. Pada pria pertumbuhan
bakteri dihambat pula oleh adanya sekresi prostat. Keberadaan bakteri di dalam
kandung kemih menstimulasi micturition
yang disertai dengan meningkatnya diuresis dan pengosongan kandung kemih yang
efisien. Pasien yang tidak dapat mengeluarkan urin dengan sempurna memiliki
resiko yang besar mengalami ISK dan sering mengalami infeksi ulang. Faktor
lain yang mungkin dapat mencegah perlekatan bakteri yaitu immunoglobulins (Ig) G dan A. Pasien
dengan jumlah sekresi IgA urin menurun memiliki resiko yang meningkat untuk
terjadinya ISK. Faktor pertahanan tubuh yang lain adalah kebaradaan Lactobacillus
pada flora vagina dan jumlah
estrogen sirkulasi(Dipiro, 2011).
Organisme patogen memiliki
tingkat virulensi yang berbeda-beda yang menentukan perkembangan dan tingkat
keparahan infeksi. Bakteri yang melekat pada epitelium saluran kemih dapat
menyebabkan kolonisasi dan infeksi. Mekanisme adesi bakteri gram negatif
khususnya E. coli terkait
dengan fimbriae bakteri yang merupakan perpanjangan seperti rambut yang keras
dari dinding sel. Fimbriae ini melekat dengan komponen glikolipid tertentu pada
sel epitel. Fimbriae yang paling sering yaitu tipe 1, yang berikatan dengan
residu manosa yang ada pada glikoprotein, yaitu Glycosaminoglycan dan
protein Tamm-Horsfall yang siap menjebak organisme tersebut dan kemudian
mengeluarkan dari kandung kemih. Fimbriae lain resisten manosa dan biasanya
menybabkan pyelonefritis, seperti fimbriae P yang mengikat reseptor glikolipid
spesifik pada sel uroepitelial. Bakteri ini resisten terhadap pembersihan oleh
glycosaminoglycan dan mampu bermultiplikasi dan menginvasi jaringan, khususnya
ginjal. Selain itu, PMNs begitu juga antibodi IgA mengandung reseptor untuk
fimbriae tipe 1 dan memfasilitasi fagositosis, namun tidak memiliki reseptor
untuk fimbriae tipe P. faktor virulensi lain meliputi produksi hemolisin dan
aerobactin. Hemolisin adalah suatu protein sitotoksik yang diproduksi oleh
bakteri yang menghancurkan sel-sel, termasuk eritrosit, PMNs, dan monosit. E.
coli dan bakteri gram negatif lain
memerlukan Fe untuk metabolisme aerob dan multiplikasi. Aerobactin
memfasilitasi perlekatan dan uptake Fe
oleh E. coli (Dipiro,2011).
1.3.4 Penatalaksanaan Terapi
Tujuan dari pengobatan ISK
(Pranawa, 2007) :
1.
Menghilangkan kuman dan koloni kuman
2.
Menghilangkan gejala
3.
Mencegah dan mengobati sepsis
4.
Mencegah gejala sisa
Antimikroba yang ideal yaitu
mampu ditoleransi dengan baik, dapat diabsorbsi, mencapai konsentrasi yang
tinggi di dalam urin, dan mempunyai spektrum yang terbatas untuk patogen
penyebab (Dipiro, 2011). Tabel dibawah ini mencantumkan pilihan terapi untuk
ISK.