Kamis, 09 Februari 2017

catatan : pengaturan dosis antibiotik pada pasien kritis

A.          Infeksi dan Sepsis Pada Pasien Sakit Kritis
            Pasien sakit kritis memiliki resiko terjadi peningkatan infeksi yang serius akibat penggunaan peralatan invasive untuk diagnosa dan terapi di ruang ICU, dan juga kondisi fisik pasien yang sangat lemah. Prevalensi 40% hingga 50% pasien kritis yang dirawat di ICU secara intensif rentan mengalami infeksi (Blot et al., 2014).
            Infeksi yang serius, seperti bacteremia atau peneumonia, mendorong terjadinya systemic inflammatory response syndrome (SIRS) mengindikasikan adanya proses melampaui inflamasi lokal. SIRS merupakan bagian dari respon imun natural, karekteristik mengindikasikan SIRS minimal ada dua kondisi berikut: demam atau hipotermia, leukositosis atau leukopenia, takikardi, takipnea, dan hipotensi. Infeksi yang merangsang SIRS menghasilkan suatu sindrom yang disebut sepsis. Berdasarkan tingkat keparahan sepsis dikategorikan, sepsis, sepsis yang berat, dan septik syok. Sepsis yang berat berkaitan kegagalan organ, sedangkan septik syok disertai hipotensi yang sulit diatasi sehingga diperlukan terapi cairan yang adekuat dan vasopressor (Blot et al., 2014).
Mortalitas yang berhubungan dengan sepsis sekitar 20% - 30%, Mortalitas yang disebabkan oleh sepsis yang parah sekitar 30% - 50%. Adanya penyebab sumber infeksi yang beragam, umur, patologi penyakit, penyebab (etiologi), Antimikroba yang digunakan sebagai terapi, kegagalan organ dan terapi antimikroba yang adekuat (Blot et al., 2014).
Gambar 1. Perubahan patofisiologi yang terjadi selama penyakit kritis yang berpengaruh pada farmakokinetik dari antimikroba.

B.           Definisi Terapi Antimikroba adekuat
            Terapi antimikroba yang adekuat harus memenuhi tiga persyaratan berikut, pertama, harus diberikan segera setelah terdiagnosa sepsis (permulaan sepsis), meskipun bakteri pathogen penyebab sepsis belum diketahui. Kedua, Digunakan antimikroba empiris, dengan spektrum luas namun potensial terhadap mikroba penyebab sepsis (segera dilakukan uji bakteri). Diberikan antimikroba definitif, dengan dosis yang tepat, daya bunuh mikroba maksimal, namun meminimalkan resistensi dan terjadinya ADR (Blot et al., 2014).
            Pada pasien sakit ringan hingga sedang, target konsentrasi antimikroba dicapai dengan dosis yang standar, farmakokinetik yang stabil dan dapat diduga. Sebagaiman telah disebutkan, pada pasien sakit kritis, farmakokinetik tergantung pada perubahan patofisiologi, sehingga dilakukan pengoptimalan dosis yang komplek (Blot et al., 2014).

C.          Sifat Fisiko-Kimia Antimikroba        
            Antimikroba memiliki sifat yang hidrofil dan lipofil (Gambar 2), antimikroba hidrofilik yang digunakan untuk penderita sepsis, dibutuhkan peningkatan loading dose, selain itu juga dilakukan maintenance dose adjustment. Sebaliknya dengan antimikroba yang bersifat lipofilik, tidak dilakukan dose adjustment (Blot et al., 2014).
Gambar 2. Penggolongan antibiotic berdasarkan sifat fisika kimia.
D.          Parameter Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Menurut perbedaan hubungan dosis dengan respon antimikroba dapat diklasifikasikan:
1.      Time dependent / non concentration. Efek antimikroba dengan ditentukan oleh kumulatif persentase waktu selama 24 jam tidak terikat dengan konsentrasi antimikroba yang melebihi MIC. Contoh: antimikroba golongan beta laktam.
2.      Concentration dependent. Efek Antimikroba dengan ditentukan oleh puncak konsentrasi dalam selang dosis yang terbagi Per MIC (Cmax / MIC). Contoh: Aminoglikosida dan daptomisin.
3.      Concentration dependent with time dependent. Efek antimikroba yang ditentukan oleh AUC 0-24 h jika lebih dari 24 jam maka ditentukan berdasarkan MIC. Contoh: Floroquinolone, tigesiklin, linezolid dan glikopeptida.
(Blot et al., 2014)


Concentration-dependent
Time-dependent Concentration
Concentration-dependent with time-dependence
Objective
Maximize concentrations
Maximize duration of exposure
Maximize amount of drug exposure
Optimal PK/PD index
Cmax/MIC
T > MIC
AUC0–24 h / MIC
Antimicrobials
Aminoglikosida
Daptomisin
Floroquinolon
Ketolide
Metronidazol
Quinupristin/ dalfopristin
karbapenem
Sefalosporin
Eritromisin
Linezolide
Klaritomisisn
Linkosamid
penisilin
Aziromisin
Klindamisin
Linezolide
Tetrasiklin
Florokuinolon
Aminoglikosida
Quinpristin/ dalfopristin
Tigesiklin
vankomisin
Tabel 1. Klasifikasi antimikroba berdasarkan farmakodinamika.

E.           Perubahan patofisiologi pada pasien yang mempengaruhi farmakokinetik antimikroba
1.      Peningkatan Volume Distribusi
         Sepsis dan terutama yang mengalami sepsis shock dicirikan oleh adanya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vascular yang mengakibatkan sindrom kebocoran kapiler. Kebocoran kapiler ini berpengaruh pada perpindahan cairan dari intravascular menuju interstitial yang menyebabkan udema. Fenomena ini akan ditingkatkan oleh tekanan onkotik karena plasma protein keluar melalui kapiler yang  bocor tersebut. Peningkatan kapasitas vascular oleh vasodilatasi disatu sisi dan hilangnya volume intravascular disisi lain memerlukan cairan infus untuk menajaga ketersediaan di organ. Pembentukan udema dan pemberian banyak cairan infus akan meningkatkan jumlah cairan tubuh sehingga meningkatkan volume distribusi dari obat yang bersifar hidrofilik. Hal yang penting terutama untuk antimikroba seperti beta lactam, aminoglikosida, glikopeptida, polimyxin B yang memiliki Vd lebih rendah akan meningkat Vd nya saat sepsis. Jika dosis awal (initial dose) tidak ditingkatkan, maka memerlukan kira-kira 1-2 hari untuk mencapai serum konsentrasi yang stabil, sehingga akan memberikan hasil terapi yang gagal.
         Volume distribusi antimikroba hidrofil meningkat tidak hanya dikarenakan pembentukan edema dan penambahan cairan intravena, tetapi juga bisa disebabkan oleh intervensi seperti ventilasi mekanik, extra-corporal circuits (e.g. cardiopulmonary bypass or plasma exchange), and post-surgical drainage. Tidak hanya sepsis dan sepsis shock tetapi beberapa patologis dapat meningkatkan Vd termasuk penyakit hati, mediastinitis, efusi pleura, dan luka bakar mayor. Sirosis hati dapat menyebabkan peningkatan cairan ekstrasel sehingga Vd meningkat melalui pembentukan ascites dan pembentukan ekspansi plasma. Ekstravasasi cairan dalam rongga pleura juga memicu ekspansi Vd sehingga serum konsentrasi antimikroba hidrofil berkurang. Luka bakar memicu reaksi inflamasi yang kuat dan kebocoran kapiler membentuk udema inmasif. Kerusakan langsung mikrovaskuler oleh trauma tersebut memicu ekstravasasi plasma. Sehingga penggunaan untuk antibiotic yang bersifat hidrofil sebaiknya ditingkatkan dosis awalnya untuk mencapai konsentrasi MIC dalam cairan tubuh.
2.      Ikatan Protein
Ikatan protein dengan obat akan membuat fraksi yang tidak terikat secara farmakodinamika akan aktif dan mencapai efikasi. Kejadian hypoalbuminemia sering terjadi pada pasien dengan penyakit kritis. Lebih dari 40% pasien di ICU memiliki serum albumin yang rendah (<25g/dL). Ikatan dengan protein akan relevan jika agen antimikroba tersebut memiliki ikatan protein yang tinggi dan dieliminasi melalui filtrasi glomerulus, sebagaimana terjadi untuk beberapa antimikroba hidrofil seperti ertapenem, daptomycin, seftriaxon, dan teicoplanin. Serum konsentrasi  protein yang lebih rendah menyebabkan obat yang tidak terikat protein menjadi lebih banyak dan menghasilkan konsentrasi yang tinggi dan optimal untuk membunuh bakteri. Namun, kondisi hypoalbuminemia biasanya berhubungan dengan peningkatan volume distribusi dan klirens obat antimikroba hidrofil yang memiliki ikatan protein yang tinggi, fraksi bebas akan segera didilusi setelah disirkulasi atas peningkatan total cairan tubuh dan lebih cepat tereliminasi. Kondisi hypoalbuminemia mungkin berkontribusi pada konsentrasi obat pada dosis awal tetapi gagal menjaga obat dalam konsentrasi cukup, sehingga diperlukan dosis interval yang lebih pendek. Jadi, pada pasien hypoalbuminemia menghasilkan fraksi obat tidak terikat yang lebih besar, jika hipoalbumine parah sehingga memerlukan loading dose standard yang lebih besar dan dosis maintenance diperlukan untuk mengoptimalkan paparan dengan antimikroba hidrofil yang ikatan proteinnya tinggi (Blot, S. I., et.al., 2014).
         Antibiotik yang moderate-highly protein bidning seperti seftriakson, flucloxacillin, ertapenem, daptomycin), pada pasien dengan hypoalbuminemia Vd akan meningkat sebanyak 100%. Antibiotik yang concentrations-dependent (aminoglikosida), dengan meningkatnya volume distribusi maka akan menurunkan efektifitas, sehingga Perlu rasio tinggi konsentrasi antibiotik yg tidak terikat mencapai MIC dan rasio tinggi AUC mencapai MIC untuk maksimal membunuh bakteri. Untuk antibiotic yang time-dependent (beta lactam), terjadi perubahan Vd dan ikatan protein sehingga jika konsentrasi tidak terikat proteinnya rendah, (dibawah konsentrasi subterapeutik) akan menyebabkan kegagalan terapi (Robet, J. A., et. al., 2014).
3.       Peningkatan Klirens Ginjal
         Peningkatan klirens ginjal (augmented renal clearance) artinya adalah peningkatan eksresi dari metabolit yang tersirkulasi, toxin, produk buangan, dan obat-obatan dibandingkan dengan konsekuensi hiperfiltrasi glomerulus. Banyak antimikroba hidrofil dieliminasi oleh filtrasi glomerular, ARC penting sebagai variable farmakokinetika. ARC terjadi 10% diatas nilai rata – rata atas filtrasi normal, pada laki – laki > 160 mL/min/1.73 m2, dan wanita > 150 mL/min/1.73 m2. Kondisi klinis yang mengarah ke ARC : sepsis, trauma, khususnya luka bakar, pankreatitis, kelainan autoimun, iskemia dan operasi besar. Kondisi tersebut juga meningkatkan Vd, sehingga harus diperhatikan konsentrasi antimikroba untuk mencapai MIC terutama untuk antimikroba yang bersifat hidrofil (Blot, S. I., et. al., 2014).
Antibiotik time dependent (beta-lactam) harus dijaga konsentrasi plasma diseluruh interval dosis, sebaiknya menggunakan sistem continuous infus. Untuk yang Concentrations dependent antibiotics (aminoglikosida), keadaan Cmax tidak berpengaruh oleh adanya ARC. Sedangkan, Concentrations dependent with time dependent antibiotics (fluoroquinolon, vankomisin), dampak ARC pada PK mungkin berhubungan dengan renal clearance (AUC 0-24h berbanding terbalik dengan klirens ginjal) sehingga diperlukan monitoring terapeutik obat (Robert, J. A., et. al., 2014).
4.      Penurunan Klirens Ginjal
Keadaan yang menyebabkan penurunan klirens ginjal adalah gangguan ginjal akut dan terapi pengganti ginjal.
1.      Gangguan ginjal akut
Pada kondisi ini, antibiotic concentration-dependent antimicroba (aminoglikosida, daptomycin) digunakan dosis interval yang lebih panjang. Sebaiknyat tidak memodifikasi jumlah dosis untuk memaksimalkab Cmax/MIC rasio. Time-dependent antimicroba (beta lactam), sebaiknya diturunkan jumlah dosisnya tanpa modifikasi interval dosis untuk memaksimalkan tMax>MIC. Antimikroba yang bersifat hidrofil diberikan dengan dosis loading dose lebih besar pada 24 jam pertama diberikan. Penyesuaian dosis disesuaikan dengan fungsi renal dan volume distribusi (Blot, S. I., et. al., 2014).
2.      Terapi pengganti ginjal
     Continuous renal replacement therapy biasanya aling banyak digunakan pada pasien sakit kritis. Prinsip-prinsip penting secara umum obat dengan Vd besar (>1L/kg), Lipofil drug, High protein bound (>80%) semuanya akan dieliminasi jika pasien mengalami dialysis atau hemodialisa (Robert, J. A., et. al., 2014). Contoh pengaturan dosis yang disarankan oleh McKenzie (2011) yang merupakan Guidline untuk antibiotic di ICU yang menggunakan terapi CVVH.
Gambar 3. Critical care antibiotic Guidline, ICU
5.      Peningkatan klirens renal (Augmentation Renal Clearance / ARC)
Banyak antibiotik yang digunakan pada penyakit kritis dibersihkan melalui ginjal, dan konsentrasinya dipengaruhi oleh perubahan pada fungsi renal. Meskipun praktik standar berupa penurunan dosis antibiotik pada kerusakan ginjal (AKI) harus dihindari efek toksik, pada beberapa pasien kritis augmented renal clearance (ARC) dapat berkembang dimana filtrasi glomerular menungkat pada sebagian pasien. ARC didefinisikan sebagai bersihan paling sedikit 130 mL/min, yang merupakan alasan potensial untuk menurunkan dosis, dan pada beberapa pasien penyakit kritis dengan penurunan fungsi ginjal dimungkinkan penggunaan regimen antibiotik yang intensif. ARC terjadi 10% diatas nilai rata – rata atas filtrasi normal, pada laki – laki > 160 mL/min/1.73 m2, dan wanita > 150 mL/min/1.73 m2.
ARC didorong oleh respon patofisiologi untuk infeksi dan intervensi terapi (contohnya resusitasi cairan dan penggunaan vasopresor) hal ini juga terkait dengan percepatan peningkatan cardiac output dan peningkatan aliran darah ke organ mayor. Peningkatan perfusi ke ginjal  meningkatkan penghantaran obat dank arena itu meningkatkan secara substansial filtrasi glomerulus dan bersihan dari ginjal, termasuk beberapa antibiotik, seperti amino glikosida, β lactams, dan glycopeptida. Antimikroba yang hidrofilik harus sangat diperhatikan pada pasien yang beresiko ARC. ARC  sering kali terlihat pada pasien penyakit kritis dengan konsentrasi SrCr yang normal, dan khususnya terjadi pada usia muda (kurang dari 55 tahun) dengan trauma, sepsis, luka bakar, penyakit haematological malignant, atau  pankreatitis. 82% pasien dengan ARC tidak mencapai konsentrasi antibiotik sesuai standarnya. Menurunnya perfusi ginjal, termasuk kerusakan mikrosirkulasi dapat menyebabkan AKI dan menurunkan clearance renal yang mengeliminasi antibiotik.
AKI diidentifikasi dengan peningkatan konsentrasi SrCr atau penurunan output urin dan mengharuskan adanya penurunan dosis antibiotik untuk mencapai terapi tetapi tidak toksik. Dimana, besarnya dosis yang diturunkan tidak dibutuhkan pada pasien AKI untuk obat dengan rentang terapi lebar, dibersihkan melalui beberapa rute, dan  dengan proporsi clearance dengan rute non-renal moderate-tinggi (contohnya ceftriaxon, Fluoxacillin, dan Ciprofloxacin yang memiliki dua jalur bersihan yakni melalui hepatic dan renal). Jika AKI berat terjadi,  terapi penggantian ginjal dapat diresepkan untuk bersihan produk sisa metabolit atau penggantian cairan. Terapi ini dapat berlangsung terus menerus, atau  hemodialisis intermiten, atau bentuk hybrid dari keduanya, misalnya  dialysis low-efisiensi berkelanjutan. Terapi berkelanjutan pengganti ginjal adalah bentuk yang paling sering digunakan pada pasien dengan penyakit kritis. Obat dengan VD yang tinggi ( lebih dari 1 L/kg), lipofil atau obat dengan ikatan protein yang tinggi (lebih dari 80%), atau ketiganya tidak dieliminasi dengan baik. Sepsis terkait dengan 50% peningkatan kejadian kematian, meningkatnya risiko mungkin karena  sulitnya memberikan dosis antibiotik pada pasien sepsis. Beberapa laporan menegaskan adanya tantangan untuk dosis menggunakan vancomisin, ciprofloxacin dan β lactam, karena 10–50% pasien yang mengalami penyakit kritis tidak menerima antibiotic sesuai target. Dosis antibiotic idealnya harus di individualisasi sesuai metode Renal repacement therapy dan setting nya. Antibiotik time dependent (misalnya β -Laktam) bekerja menjaga konsentrasi plasma diseluruh interval dosis. Sedangkan antibiotic konsentrasi dependent (contohnya aminoglikosida) Cmax nya tidak berpengaruh terhadap ARC        (Roberts, 2014).
Mayoritas antibiotik hydropfilik (termasuk b-lactam dan aminoglikosida) di eksresikan tidak berubah melalui ginjal. Eliminasi agen-agen tertentu pada gagal ginjal menjadi terbatas, yang secara extreme sering terjadi pada pasien penyakit kritis.
Aminoglikosida dapat menyebabkan exaserbasi gagal ginjal dan dapat menghentikan proses penyembuhan. Sehingga regimen dosis harus disesuaikan setiap hari setelah dilakukan pengecekan fungsi ginjal. Produk metabolit dari antibiotic yang lipofilik perlu dieliminasi, seperti flucloxacillin, yang dimetabolisme oleh cytochrome menjadi derivate 5-hydroxymethyl, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal     (Mc Kenzie, 2014).

6.      SISTEM PULMONER
Infeksi yang paling sering terjadi pada pasien penyakit kritis adalah peumonia dan  merupakan penyebab terbanyak mortalitas dan morbiditas pada pasien di ICU ( terutama dengan komplikasi ventilasi mekanik). Penggunaan optimum antibiotik untuk pasien dengan ventilator terkait dengan perubahan patologi pasien, dan faktor yang terkait penetrasi obat ke tempat infeksi dalam jumlah yang memadai. Kompartemen alveolar seperti jalur cairan epitel dekat dengan tempat infeksi  dimana pathogen extraseluler berkumpul, dan konsentrasi antibiotik yang optimal meningkatkan tingkat kesuksesan terapi.  Setelah penggunaan sistemik, antibiotik menembus barier kapiler alveolar dan menimbulkan efek di epitel oleh fisikokimia (contohnya lipofilisitas) dan karakteristik farmakokinetik (contohnya jumlah ikatan protein) antibiotik, dan  karakteristik spesifik pasien ( misalnya inflamasi atau penyakit paruatau keduanya). Tingkat penetrasi cairan ke dinding epitel oleh antibiotik dikarakterisir oleh rasio paparan pada cairan epitel ke paparan di plasma. Dalam konteks fisikokimia antibiotik, antibiotik yang lebih lipofil (contohnya floroquinolon, makrolida dan oxazolidinon) memiliki lapisan cairan epitelyang memapar plasma dengan rasio lebih dari 1. Namun rasio paparan yang tinggi tidak selalu terlihat pada antibiotik yang hidrofilik, namun rasio juga bisa diabaikan karena kegagalan taknis. Obat yang hidrofil disarankan untuk digunakan pada dosis tinggi pada pasien yang mengalami pneumonia berat nosokomial dengan alternative penggunaan continous infusion antibiotic β lactam atau pemberian melalui nebulisator.
7.      SYSTEM HEPATIK
Pada severe sepsis dan septic shock,  kerusakan hepar dapat menurunkan metabolism obat dan clearance. Dimana sedikitnya data yang tersedia menunjukkan penyesuaian dosis antibiotik pada pasien dengan penyakit kritis dengan kerusakan hepar. Penurunan produksi albumin akan menyebabkan hipoproteinemia. Penurunan metabolisme sedikitnya 90% dari kapasitas metabolism hati secara substansial mempengaruhi klirens obat. Hepatic blood flow meningkat karena status hiperdinamik pada sepsis atau pasien kritis. Pemilihan antibiotik pada pasien gagal hati, baiknya dipilih antibiotik yang dieliminasi tidak melaui hati, karena akan terakumulasi menyebabkan hepatotoksik dan membahayakan fungsi hepar.
Data dari Howden et al (1989), Williams (1983), and Hu et al (1995). Obat yang metabolismenya menurun secara signifikan pada gangguan hati adalah:
a. Chloramphenicol             
b. Erythromycin
c. Metronidazole     
Proses metabolisme terbesar terjadi di hati. Obat yang dimetabolisme dihati dapat mengikuti metabolisme fase 1 dan fase 2.  Kebanyakan metabolism fase 1 terjadi pada cytocrome hati dan melibatkan transformasi termasuk oksidasi dan metilasi, untuk membuat obat menjadi water soluble sehingga dapat diekskresikan oleh ginjal. Umumnya, metabolism tipe 1 mempunyai kapasitas yang terbatas. Antibiotik dimetabolisme melalui rute ini termasuk florokuinolon dan flucloxacillin. Kapasitas hati untuk memetabolisme obat melalui system enzim fase 1 menurun pada kerusakan hati. Kapasitas metabolism hati menurun hingga 90% sebelum obat di metabolisme merupakan efek yang signifikan terjadi. Metabolism fase 2 termasuk glukoronidasi dan konjugasi glutation. Fase 2 dapat terjadi setelah fase 1 atau dapat terjadi sendiri. Metabolism fase 2 memiliki kapasitas yang lebih rendah dan terbatas dibandingkan fase 1 dan masih dapat terjadi pada kejadian gagal hati stage akhir (Mc Kenzie, 2014).
Fraksi obat yang tidak berubah atau Fe dapat digunakan untuk menghitung penyesuaian dosis obat pada pasien dengan fungsi hati yang sudah menurun. Berikut daftar Fe dari beberapa antibiotika yang dituliskan oleh leon shargel :
Dari rumus diatas dapat dilakukan penyesuaian dosis dengan mengetahui fungsi hati yang tersisa yang diperkirakan melalui perbandingan Clh hepatitis dan Clh normal.  Mayoritas kasus perlukaan hati disebabkan oleh efek langsung toksisitas obat (60%) atau karena metabolitnya. Pada kasus lain perlukaan terjadi karena reaksi imunologi baik obat maupun metabolit aktif yang terjadi karena bioaktivasi . Drug induced liver injury (DILI) dapat terjadi karena dose dependent ataupun reaksi idiosinkrasi. Berikut daftar obat- obat yang termasuk DILI dan kerusakan yang mungkin ditimbulkannya :







Daftar Pustaka
Blot, S. I., F. Pea., J. Lipman. 2014. The effect of pathophysiology on pharmacokinetics in the critically ill patient-Concepts appraised by the example of antimicrobial agents. Advanced Drug Delivery (77) : 3-11.
Joshi, Deepak. 2015. Hepatology at a glance. John Willey and sons ltd. UK : 50
McKenzie, C., 2011. Antibiotik dosing in critical illness. Journal of Antimicrobial Chemotherapy (2) : 25-31.
Roberts, J. A., et.al., Individualised antibiotik dosing for patients whoare critically ill: challenges and potential solutions. Lancet Infection Disease 14 (6) : 498-509.

Shargel, Leon. 2016. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics Seventh Edition. Mc Graw Hill. New york : 775 - 810

Tidak ada komentar:

Posting Komentar