A.
Infeksi
dan Sepsis Pada Pasien Sakit Kritis
Pasien
sakit kritis memiliki resiko terjadi peningkatan infeksi yang serius akibat
penggunaan peralatan invasive untuk
diagnosa dan terapi di ruang ICU, dan juga kondisi fisik pasien yang sangat
lemah. Prevalensi 40% hingga 50% pasien kritis yang dirawat di ICU secara
intensif rentan mengalami infeksi (Blot et
al., 2014).
Infeksi
yang serius, seperti bacteremia atau peneumonia, mendorong terjadinya systemic
inflammatory response syndrome (SIRS) mengindikasikan adanya proses melampaui inflamasi
lokal. SIRS merupakan bagian dari respon imun natural, karekteristik
mengindikasikan SIRS minimal ada dua kondisi berikut: demam atau hipotermia,
leukositosis atau leukopenia, takikardi, takipnea, dan hipotensi. Infeksi yang
merangsang SIRS menghasilkan suatu sindrom yang disebut sepsis. Berdasarkan
tingkat keparahan sepsis dikategorikan, sepsis, sepsis yang berat, dan septik
syok. Sepsis yang berat berkaitan kegagalan organ, sedangkan septik syok
disertai hipotensi yang sulit diatasi sehingga diperlukan terapi cairan yang
adekuat dan vasopressor (Blot et al.,
2014).
Mortalitas yang
berhubungan dengan sepsis sekitar 20% - 30%, Mortalitas yang disebabkan oleh
sepsis yang parah sekitar 30% - 50%. Adanya penyebab sumber infeksi yang
beragam, umur, patologi penyakit, penyebab (etiologi), Antimikroba yang
digunakan sebagai terapi, kegagalan organ dan terapi antimikroba yang adekuat
(Blot et al., 2014).
Gambar
1. Perubahan patofisiologi yang terjadi selama
penyakit kritis yang berpengaruh pada farmakokinetik dari antimikroba.
B.
Definisi
Terapi Antimikroba adekuat
Terapi
antimikroba yang adekuat harus memenuhi tiga persyaratan berikut, pertama,
harus diberikan segera setelah terdiagnosa sepsis (permulaan sepsis), meskipun
bakteri pathogen penyebab sepsis belum diketahui. Kedua, Digunakan antimikroba
empiris, dengan spektrum luas namun potensial terhadap mikroba penyebab sepsis
(segera dilakukan uji bakteri). Diberikan antimikroba definitif, dengan dosis
yang tepat, daya bunuh mikroba maksimal, namun meminimalkan resistensi dan
terjadinya ADR (Blot et al., 2014).
Pada
pasien sakit ringan hingga sedang, target konsentrasi antimikroba dicapai
dengan dosis yang standar, farmakokinetik yang stabil dan dapat diduga.
Sebagaiman telah disebutkan, pada pasien sakit kritis, farmakokinetik
tergantung pada perubahan patofisiologi, sehingga dilakukan pengoptimalan dosis
yang komplek (Blot et al., 2014).
C.
Sifat
Fisiko-Kimia Antimikroba
Antimikroba
memiliki sifat yang hidrofil dan lipofil (Gambar 2), antimikroba hidrofilik
yang digunakan untuk penderita sepsis, dibutuhkan peningkatan loading dose, selain itu juga dilakukan maintenance dose adjustment. Sebaliknya
dengan antimikroba yang bersifat lipofilik, tidak dilakukan dose adjustment
(Blot et al., 2014).
Gambar
2. Penggolongan antibiotic berdasarkan sifat fisika
kimia.
D.
Parameter
Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Menurut perbedaan
hubungan dosis dengan respon antimikroba dapat diklasifikasikan:
1.
Time dependent / non concentration. Efek
antimikroba dengan ditentukan oleh kumulatif persentase waktu selama 24 jam
tidak terikat dengan konsentrasi antimikroba yang melebihi MIC. Contoh:
antimikroba golongan beta laktam.
2.
Concentration dependent. Efek
Antimikroba dengan ditentukan oleh puncak konsentrasi dalam selang dosis yang
terbagi Per MIC (Cmax / MIC). Contoh: Aminoglikosida dan daptomisin.
3.
Concentration dependent with time
dependent. Efek antimikroba yang ditentukan oleh AUC 0-24 h jika lebih dari 24
jam maka ditentukan berdasarkan MIC. Contoh: Floroquinolone, tigesiklin,
linezolid dan glikopeptida.
(Blot et al., 2014)
|
Concentration-dependent
|
Time-dependent Concentration
|
Concentration-dependent with
time-dependence
|
Objective
|
Maximize concentrations
|
Maximize duration of exposure
|
Maximize amount of drug
exposure
|
Optimal PK/PD index
|
Cmax/MIC
|
T > MIC
|
AUC0–24 h / MIC
|
Antimicrobials
|
Aminoglikosida
Daptomisin
Floroquinolon
Ketolide
Metronidazol
Quinupristin/ dalfopristin
|
karbapenem
Sefalosporin
Eritromisin
Linezolide
Klaritomisisn
Linkosamid
penisilin
|
Aziromisin
Klindamisin
Linezolide
Tetrasiklin
Florokuinolon
Aminoglikosida
Quinpristin/ dalfopristin
Tigesiklin
vankomisin
|
Tabel
1.
Klasifikasi antimikroba berdasarkan farmakodinamika.
E.
Perubahan
patofisiologi pada pasien yang mempengaruhi farmakokinetik antimikroba
1.
Peningkatan
Volume Distribusi
Sepsis dan terutama yang mengalami
sepsis shock dicirikan oleh adanya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
vascular yang mengakibatkan sindrom kebocoran kapiler. Kebocoran kapiler ini
berpengaruh pada perpindahan cairan dari intravascular menuju interstitial yang
menyebabkan udema. Fenomena ini akan ditingkatkan oleh tekanan onkotik karena
plasma protein keluar melalui kapiler yang
bocor tersebut. Peningkatan kapasitas vascular oleh vasodilatasi disatu
sisi dan hilangnya volume intravascular disisi lain memerlukan cairan infus
untuk menajaga ketersediaan di organ. Pembentukan udema dan pemberian banyak
cairan infus akan meningkatkan jumlah cairan tubuh sehingga meningkatkan volume
distribusi dari obat yang bersifar hidrofilik. Hal yang penting terutama untuk
antimikroba seperti beta lactam, aminoglikosida, glikopeptida, polimyxin B yang
memiliki Vd lebih rendah akan meningkat Vd nya saat sepsis. Jika dosis awal
(initial dose) tidak ditingkatkan, maka memerlukan kira-kira 1-2 hari untuk
mencapai serum konsentrasi yang stabil, sehingga akan memberikan hasil terapi
yang gagal.
Volume distribusi antimikroba hidrofil
meningkat tidak hanya dikarenakan pembentukan edema dan penambahan cairan
intravena, tetapi juga bisa disebabkan oleh intervensi seperti ventilasi
mekanik, extra-corporal circuits (e.g. cardiopulmonary bypass or plasma
exchange), and post-surgical drainage. Tidak hanya sepsis dan sepsis shock
tetapi beberapa patologis dapat meningkatkan Vd termasuk penyakit hati,
mediastinitis, efusi pleura, dan luka bakar mayor. Sirosis hati dapat
menyebabkan peningkatan cairan ekstrasel sehingga Vd meningkat melalui
pembentukan ascites dan pembentukan ekspansi plasma. Ekstravasasi cairan dalam
rongga pleura juga memicu ekspansi Vd sehingga serum konsentrasi antimikroba
hidrofil berkurang. Luka bakar memicu reaksi inflamasi yang kuat dan kebocoran
kapiler membentuk udema inmasif. Kerusakan langsung mikrovaskuler oleh trauma
tersebut memicu ekstravasasi plasma. Sehingga penggunaan untuk antibiotic yang
bersifat hidrofil sebaiknya ditingkatkan dosis awalnya untuk mencapai
konsentrasi MIC dalam cairan tubuh.
2.
Ikatan
Protein
Ikatan
protein dengan obat akan membuat fraksi yang tidak terikat secara
farmakodinamika akan aktif dan mencapai efikasi. Kejadian hypoalbuminemia
sering terjadi pada pasien dengan penyakit kritis. Lebih dari 40% pasien di ICU
memiliki serum albumin yang rendah (<25g/dL). Ikatan dengan protein akan
relevan jika agen antimikroba tersebut memiliki ikatan protein yang tinggi dan
dieliminasi melalui filtrasi glomerulus, sebagaimana terjadi untuk beberapa
antimikroba hidrofil seperti ertapenem, daptomycin, seftriaxon, dan
teicoplanin. Serum konsentrasi protein
yang lebih rendah menyebabkan obat yang tidak terikat protein menjadi lebih
banyak dan menghasilkan konsentrasi yang tinggi dan optimal untuk membunuh
bakteri. Namun, kondisi hypoalbuminemia biasanya berhubungan dengan peningkatan
volume distribusi dan klirens obat antimikroba hidrofil yang memiliki ikatan
protein yang tinggi, fraksi bebas akan segera didilusi setelah disirkulasi atas
peningkatan total cairan tubuh dan lebih cepat tereliminasi. Kondisi
hypoalbuminemia mungkin berkontribusi pada konsentrasi obat pada dosis awal
tetapi gagal menjaga obat dalam konsentrasi cukup, sehingga diperlukan dosis
interval yang lebih pendek. Jadi, pada pasien hypoalbuminemia menghasilkan
fraksi obat tidak terikat yang lebih besar, jika hipoalbumine parah sehingga
memerlukan loading dose standard yang lebih besar dan dosis maintenance diperlukan
untuk mengoptimalkan paparan dengan antimikroba hidrofil yang ikatan proteinnya
tinggi (Blot, S. I., et.al., 2014).
Antibiotik yang moderate-highly protein
bidning seperti seftriakson, flucloxacillin, ertapenem, daptomycin), pada
pasien dengan hypoalbuminemia Vd akan meningkat sebanyak 100%. Antibiotik yang
concentrations-dependent (aminoglikosida), dengan meningkatnya volume
distribusi maka akan menurunkan efektifitas, sehingga Perlu rasio tinggi
konsentrasi antibiotik yg tidak terikat mencapai MIC dan rasio tinggi AUC
mencapai MIC untuk maksimal membunuh bakteri. Untuk antibiotic yang
time-dependent (beta lactam), terjadi perubahan Vd dan ikatan protein sehingga
jika konsentrasi tidak terikat proteinnya rendah, (dibawah konsentrasi
subterapeutik) akan menyebabkan kegagalan terapi (Robet, J. A., et. al., 2014).
3.
Peningkatan
Klirens Ginjal
Peningkatan
klirens ginjal (augmented renal clearance) artinya adalah peningkatan eksresi
dari metabolit yang tersirkulasi, toxin, produk buangan, dan obat-obatan
dibandingkan dengan konsekuensi hiperfiltrasi glomerulus. Banyak antimikroba
hidrofil dieliminasi oleh filtrasi glomerular, ARC penting sebagai variable
farmakokinetika. ARC terjadi 10% diatas
nilai rata – rata atas filtrasi normal, pada laki – laki > 160 mL/min/1.73
m2, dan wanita > 150 mL/min/1.73 m2. Kondisi klinis yang mengarah ke ARC : sepsis, trauma, khususnya luka
bakar, pankreatitis, kelainan autoimun, iskemia dan operasi besar. Kondisi
tersebut juga meningkatkan Vd, sehingga harus diperhatikan konsentrasi
antimikroba untuk mencapai MIC terutama untuk antimikroba yang bersifat
hidrofil (Blot, S. I., et. al., 2014).
Antibiotik
time dependent (beta-lactam) harus dijaga konsentrasi plasma diseluruh interval
dosis, sebaiknya menggunakan sistem continuous infus. Untuk yang Concentrations
dependent antibiotics (aminoglikosida), keadaan Cmax tidak berpengaruh oleh
adanya ARC. Sedangkan, Concentrations dependent with time dependent antibiotics
(fluoroquinolon, vankomisin), dampak ARC pada PK mungkin berhubungan dengan
renal clearance (AUC 0-24h berbanding terbalik dengan klirens ginjal) sehingga
diperlukan monitoring terapeutik obat (Robert, J. A., et. al., 2014).
4. Penurunan Klirens Ginjal
Keadaan
yang menyebabkan penurunan klirens ginjal adalah gangguan ginjal akut dan
terapi pengganti ginjal.
1.
Gangguan ginjal akut
Pada
kondisi ini, antibiotic concentration-dependent antimicroba (aminoglikosida,
daptomycin) digunakan dosis interval yang lebih panjang. Sebaiknyat tidak
memodifikasi jumlah dosis untuk memaksimalkab Cmax/MIC rasio. Time-dependent
antimicroba (beta lactam), sebaiknya diturunkan jumlah dosisnya tanpa
modifikasi interval dosis untuk memaksimalkan tMax>MIC. Antimikroba yang
bersifat hidrofil diberikan dengan dosis loading dose lebih besar pada 24 jam
pertama diberikan. Penyesuaian dosis disesuaikan dengan fungsi renal dan volume
distribusi (Blot, S. I., et. al., 2014).
2.
Terapi pengganti ginjal
Continuous renal replacement therapy
biasanya aling banyak digunakan pada pasien sakit kritis. Prinsip-prinsip
penting secara umum obat dengan Vd besar (>1L/kg), Lipofil drug, High
protein bound (>80%) semuanya akan dieliminasi jika pasien mengalami
dialysis atau hemodialisa (Robert, J. A., et. al., 2014). Contoh pengaturan
dosis yang disarankan oleh McKenzie (2011) yang merupakan Guidline untuk
antibiotic di ICU yang menggunakan terapi CVVH.
Gambar
3. Critical care antibiotic Guidline, ICU
5. Peningkatan
klirens renal (Augmentation Renal Clearance / ARC)
Banyak antibiotik yang digunakan pada
penyakit kritis dibersihkan melalui ginjal, dan konsentrasinya dipengaruhi oleh
perubahan pada fungsi renal. Meskipun praktik standar berupa penurunan dosis
antibiotik pada kerusakan ginjal (AKI) harus dihindari efek toksik, pada
beberapa pasien kritis augmented renal clearance (ARC) dapat berkembang dimana
filtrasi glomerular menungkat pada sebagian pasien. ARC didefinisikan sebagai
bersihan paling sedikit 130 mL/min, yang merupakan alasan potensial untuk
menurunkan dosis, dan pada beberapa pasien penyakit kritis dengan penurunan
fungsi ginjal dimungkinkan penggunaan regimen antibiotik yang intensif. ARC
terjadi 10% diatas nilai rata – rata atas filtrasi normal, pada laki – laki
> 160 mL/min/1.73 m2, dan wanita > 150 mL/min/1.73 m2.
ARC didorong oleh respon patofisiologi
untuk infeksi dan intervensi terapi (contohnya resusitasi cairan dan penggunaan
vasopresor) hal ini juga terkait dengan percepatan peningkatan cardiac output
dan peningkatan aliran darah ke organ mayor. Peningkatan perfusi ke ginjal meningkatkan penghantaran obat dank arena itu
meningkatkan secara substansial filtrasi glomerulus dan bersihan dari ginjal,
termasuk beberapa antibiotik, seperti amino glikosida, β lactams, dan
glycopeptida. Antimikroba yang hidrofilik harus sangat
diperhatikan pada pasien yang beresiko ARC. ARC sering kali terlihat
pada pasien penyakit kritis dengan konsentrasi SrCr yang normal, dan khususnya
terjadi pada usia muda (kurang dari 55 tahun) dengan trauma, sepsis, luka
bakar, penyakit haematological malignant, atau
pankreatitis. 82% pasien dengan ARC tidak mencapai konsentrasi
antibiotik sesuai standarnya. Menurunnya perfusi ginjal, termasuk kerusakan
mikrosirkulasi dapat menyebabkan AKI dan menurunkan clearance renal yang mengeliminasi
antibiotik.
AKI diidentifikasi dengan peningkatan
konsentrasi SrCr atau penurunan output urin dan mengharuskan adanya penurunan
dosis antibiotik untuk mencapai terapi tetapi tidak toksik. Dimana, besarnya
dosis yang diturunkan tidak dibutuhkan pada pasien AKI untuk obat dengan
rentang terapi lebar, dibersihkan melalui beberapa rute, dan dengan proporsi clearance dengan rute
non-renal moderate-tinggi (contohnya ceftriaxon, Fluoxacillin, dan
Ciprofloxacin yang memiliki dua jalur bersihan yakni melalui hepatic dan
renal). Jika AKI berat terjadi, terapi
penggantian ginjal dapat diresepkan untuk bersihan produk sisa metabolit atau
penggantian cairan. Terapi ini dapat berlangsung terus menerus, atau hemodialisis intermiten, atau bentuk hybrid
dari keduanya, misalnya dialysis
low-efisiensi berkelanjutan. Terapi berkelanjutan pengganti ginjal adalah
bentuk yang paling sering digunakan pada pasien dengan penyakit kritis. Obat
dengan VD yang tinggi ( lebih dari 1 L/kg), lipofil atau obat dengan ikatan protein
yang tinggi (lebih dari 80%), atau ketiganya tidak dieliminasi dengan baik.
Sepsis terkait dengan 50% peningkatan kejadian kematian, meningkatnya risiko
mungkin karena sulitnya memberikan dosis
antibiotik pada pasien sepsis. Beberapa laporan menegaskan adanya tantangan
untuk dosis menggunakan vancomisin, ciprofloxacin dan β lactam, karena 10–50%
pasien yang mengalami penyakit kritis tidak menerima antibiotic sesuai target.
Dosis antibiotic idealnya harus di individualisasi sesuai metode Renal repacement
therapy dan setting nya. Antibiotik time dependent (misalnya β -Laktam) bekerja
menjaga konsentrasi plasma diseluruh interval dosis. Sedangkan antibiotic
konsentrasi dependent (contohnya aminoglikosida) Cmax nya tidak berpengaruh
terhadap ARC (Roberts, 2014).
Mayoritas antibiotik hydropfilik
(termasuk b-lactam dan aminoglikosida) di eksresikan tidak berubah melalui
ginjal. Eliminasi agen-agen tertentu pada gagal ginjal menjadi terbatas, yang
secara extreme sering terjadi pada pasien penyakit kritis.
Aminoglikosida
dapat menyebabkan exaserbasi gagal ginjal dan dapat menghentikan proses
penyembuhan. Sehingga regimen dosis harus disesuaikan setiap hari setelah
dilakukan pengecekan fungsi ginjal. Produk metabolit dari antibiotic yang
lipofilik perlu dieliminasi, seperti flucloxacillin, yang dimetabolisme oleh
cytochrome menjadi derivate 5-hydroxymethyl, yang lebih mudah diekskresikan
oleh ginjal (Mc Kenzie, 2014).
6. SISTEM
PULMONER
Infeksi yang paling sering terjadi pada
pasien penyakit kritis adalah peumonia dan
merupakan penyebab terbanyak mortalitas dan morbiditas pada pasien di
ICU ( terutama dengan komplikasi ventilasi mekanik). Penggunaan optimum
antibiotik untuk pasien dengan ventilator terkait dengan perubahan patologi
pasien, dan faktor yang terkait penetrasi obat ke tempat infeksi dalam jumlah
yang memadai. Kompartemen alveolar seperti jalur cairan epitel dekat dengan
tempat infeksi dimana pathogen
extraseluler berkumpul, dan konsentrasi antibiotik yang optimal meningkatkan
tingkat kesuksesan terapi. Setelah
penggunaan sistemik, antibiotik menembus barier kapiler alveolar dan
menimbulkan efek di epitel oleh fisikokimia (contohnya lipofilisitas) dan
karakteristik farmakokinetik (contohnya jumlah ikatan protein) antibiotik,
dan karakteristik spesifik pasien (
misalnya inflamasi atau penyakit paruatau keduanya). Tingkat penetrasi cairan
ke dinding epitel oleh antibiotik dikarakterisir oleh rasio paparan pada cairan
epitel ke paparan di plasma. Dalam konteks fisikokimia antibiotik, antibiotik yang
lebih lipofil (contohnya floroquinolon, makrolida dan oxazolidinon) memiliki
lapisan cairan epitelyang memapar plasma dengan rasio lebih dari 1. Namun rasio
paparan yang tinggi tidak selalu terlihat pada antibiotik yang hidrofilik,
namun rasio juga bisa diabaikan karena kegagalan taknis. Obat yang hidrofil
disarankan untuk digunakan pada dosis tinggi pada pasien yang mengalami
pneumonia berat nosokomial dengan alternative penggunaan continous infusion
antibiotic β lactam atau pemberian melalui nebulisator.
7. SYSTEM
HEPATIK
Pada severe sepsis dan septic
shock, kerusakan hepar dapat menurunkan
metabolism obat dan clearance. Dimana sedikitnya data yang tersedia menunjukkan
penyesuaian dosis antibiotik pada pasien dengan penyakit kritis dengan
kerusakan hepar. Penurunan produksi albumin akan menyebabkan
hipoproteinemia. Penurunan metabolisme sedikitnya 90% dari kapasitas metabolism
hati secara substansial mempengaruhi klirens obat. Hepatic blood flow meningkat
karena status hiperdinamik pada sepsis atau pasien kritis. Pemilihan antibiotik
pada pasien gagal hati, baiknya dipilih antibiotik yang dieliminasi tidak
melaui hati, karena akan terakumulasi menyebabkan hepatotoksik dan membahayakan
fungsi hepar.
Data
dari Howden et al (1989), Williams (1983), and Hu et al (1995). Obat yang
metabolismenya menurun secara signifikan pada gangguan hati adalah:
a.
Chloramphenicol
b.
Erythromycin
c.
Metronidazole
Proses
metabolisme terbesar terjadi di hati. Obat yang dimetabolisme dihati dapat
mengikuti metabolisme fase 1 dan fase 2.
Kebanyakan metabolism fase 1 terjadi pada cytocrome hati dan melibatkan
transformasi termasuk oksidasi dan metilasi, untuk membuat obat menjadi water
soluble sehingga dapat diekskresikan oleh ginjal. Umumnya, metabolism tipe 1
mempunyai kapasitas yang terbatas. Antibiotik dimetabolisme melalui rute ini
termasuk florokuinolon dan flucloxacillin. Kapasitas hati untuk memetabolisme
obat melalui system enzim fase 1 menurun pada kerusakan hati. Kapasitas
metabolism hati menurun hingga 90% sebelum obat di metabolisme merupakan efek
yang signifikan terjadi. Metabolism fase 2 termasuk glukoronidasi dan konjugasi
glutation. Fase 2 dapat terjadi setelah fase 1 atau dapat terjadi sendiri.
Metabolism fase 2 memiliki kapasitas yang lebih rendah dan terbatas
dibandingkan fase 1 dan masih dapat terjadi pada kejadian gagal hati stage
akhir (Mc Kenzie, 2014).
Fraksi
obat yang tidak berubah atau Fe dapat digunakan untuk menghitung penyesuaian
dosis obat pada pasien dengan fungsi hati yang sudah menurun. Berikut daftar Fe
dari beberapa antibiotika yang dituliskan oleh leon shargel :
Dari rumus diatas dapat dilakukan penyesuaian dosis dengan
mengetahui fungsi hati yang tersisa yang diperkirakan melalui perbandingan Clh
hepatitis dan Clh normal.
Mayoritas kasus perlukaan hati disebabkan oleh efek langsung toksisitas
obat (60%) atau karena metabolitnya. Pada kasus lain perlukaan terjadi karena
reaksi imunologi baik obat maupun metabolit aktif yang terjadi karena
bioaktivasi . Drug
induced liver injury (DILI) dapat terjadi karena dose dependent ataupun reaksi
idiosinkrasi. Berikut daftar obat- obat yang termasuk DILI dan kerusakan yang
mungkin ditimbulkannya :
Daftar Pustaka
Blot, S. I., F. Pea., J. Lipman. 2014.
The effect of pathophysiology on pharmacokinetics in the critically ill
patient-Concepts appraised by the example of antimicrobial agents. Advanced
Drug Delivery (77) : 3-11.
Joshi, Deepak. 2015. Hepatology at a
glance. John Willey and sons ltd. UK : 50
McKenzie, C., 2011. Antibiotik dosing in
critical illness. Journal of Antimicrobial Chemotherapy (2) : 25-31.
Roberts, J. A., et.al., Individualised
antibiotik dosing for patients whoare critically ill: challenges and potential
solutions. Lancet Infection Disease 14 (6) : 498-509.
Shargel, Leon. 2016. Applied
Biopharmaceutics & Pharmacokinetics Seventh Edition. Mc Graw Hill. New york
: 775 - 810
Tidak ada komentar:
Posting Komentar